Bisnis

Bob Sadino (1933-…): Telur dan Setangkai Bunga Anggrek

JALAN Cirende Raya No. 2121 (baca: two one two one), Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Inilah rumah tinggal bos Kemchick Group, Bambang Mustari Sadino yang populer dipanggil Bob Sadino. Tidak persis di jalan raya, ia masuk sekitar 200 meter melewati perumahan penduduk. Di lokasi inilah jenius wirausaha telur, daging segar, daging olahan, sayur, dan buahan-buahan, menghabiskan seluruh harinya dalam sepekan, kecuali Sabtu dan Minggu. “Kalau Sabtu dan Minggu aku ada di luar kota,” kata dia dengan spirit bicara menggebu.

Bangunan dengan arsitektur khas Bob Sadino (yang serbakayu dan alamiah itu) berdiri di atas tanah seluas dua hektar dengan kontur tanah yang turun naik. Rumah dengan segala isinya (perabotan) hampir semuanya didesain sendiri sang pemiliknya. Bob, memang manusia superkreatif yang amat percaya kepada kemampuan diri sendiri.

Bicara dengan pria kelahiran Lampung, 9 Maret 1933, adalah bicara dengan sosok besar dan matang karena pengalaman. Ialah contoh konkret manusia yang menjadi pelaku dari peribahasa “Guru adalah pengalaman terbaik”. Pengalaman hidupnya sungguh pernuh warna. Dari pengalaman inilah kata-kata Bob menjadi bernas ketika dinarasikan. Kata-kata tidak hanya bunyi ujaran yang mati, tetapi punya daya hidup karena terucap dari manusia yang memaknai hidup dengan penuh vitalitas.

Om Bob, demikian dipanggil oleh yang lebih muda, memang hidup untuk bekerja dan bukan berteori. Ia membaca seperti diperintahkan Tuhan kepada Sang Nabi (Muhammad saw.): Iqra. Selama hidupnya ia tidak pernah berhenti membaca dan bertanya. Membaca alam raya dan bertanya tentang apa yang ada di depan mata. Pemberontakannya terhadap maistream masyarakat yang membesarkannya, yakni masyarakat Lampung yang berpandangan pegawai negeri adalah kehormatan tertinggi, sesungguhnya hasil dari membaca dan mempertanyakan keadaan.

Bob, yang kemudian dikenal sebagai entrepreneur tangguh, mengawali cerita hari ini dengan mengambil sepotong masa kanak-kanaknya.

Embrio Manajemen

Bob mengakui ia memang anak bandel, sering mencuri mangga. Mencuri mangga, menurut Bob, adalah embrio manajemen. Penjelasannya, dalam mencuri mangga ada pembagian tugas, ada organisasi. Ada yang bertugas mengawasi sang pemilik mangga, ada yang membawa garam, terasi, cabai, gula, dll. Untuk membikin rujak. “Dan, biasanya muara dari nyolong mangga berada di rumah perempuan, karena perempuanlah yang pandai membuat rujak dan membaginya secara adil,” kata dia.

Dalam mencuri mangga, kata dia lagi, ada tanggung jawab. Ada pembelajaran untuk menerima risiko. Ada kecemasan tetapi ada kegembiraan. Tetapi, nyolong mangga harus berhenti ketika bukan anak-anak lagi. Setelah remaja harus meningkat bagaimana menciptakan peluang dengan hal yang terdekat.

Keluarga Bob adalah amtenar, pegawai negeri. Ayahnya, Sadino, yang berasal dari Solo, adalah guru Holandsch Inlandsche School (HIS) (sekolah dasar Belanda) di Manggala, Tulangbawang. Sang ayah kemudian mengajar di SMP dan SMA di Tanjungkarang. Sadino wafat ketika Bob 19 tahun. Dengan bekal uang yang cukup, pada 1955 ia pun pergi ke Eropa.

“Aku memang tidak mau menjadi pegawai. Aku tidak mau sekolah kalau tidak bisa menciptakan sesuatu. Aku ingin hidup yang tidak mengandalkan ijazah. Aku ingin jadi orang kaya, tetapi tidak disuruh-suruh orang lain. Aku ingin merdeka,” kata dia.

Toh di negeri itu, ia belum bisa wewujudkan hidupnya yang bebas. Ia menjadi karyawan sebuah perusahaan pelayaran, Djakarta Lloyd, Amsterdam dan Hamburg. Di sana ia bertemu dengan calon istrinya yang waktu itu bekerja di Bank Indonesia di New York.

Bob dan sang calon pulang ke Tanah Air pada 1967. Keduanya masih berstatus karyawan di perusahaan masing-masing. Mereka menikah pada 1968. Keduanya memutuskan berhenti bekerja. Satu dari dua sedan Marcedes buatan tahun 1960-an, oleh-oleh dari Eropa, mereka jual untuk membeli sebidang tanah di Kemang, Jakarta Selatan. Mercy yang satu lagi untuk taksi. Bob menjadi tukang taksi selama satu tahun. Ia berhenti menjadi sopir taksi karena sedan itu hancur tabrakan ketika dikemudikan orang lain. “Hati saya hancur,” kata dia mengenang.

Tapi, Bob sosok yang tak larut dalam kesedihan. Ia menjadi kuli bangunan yang bergaji Rp100 per hari. Selama satu tahun ia jalani pekerjaan ini. “Di situlah saya menemukan artinya orang lapar, arti sepiring nasi, dan artinya hidup berada di titik nol,” kata dia.

Di sinilah anak bungsu dari lima bersaudara tahu artinya gagal. Bahwa kegagalan itu harus dimaknai. “Menurut saya orang sukses adalah mereka yang selalu bisa bangkit dari kegagalan,” kata dia berfisafat.
Cerita hidup Bob tidak linear. Tetapi, publik hanya tahu Bob Sadino pengusaha sukses yang nyentrik dengan “baju dinas” celana jins pendek dan kemeja kutung. Padahal, Bob menjalani hidupnya amat keras.

Bob menjelaskan ihwal pakaian “kebesarannya” itu. Ketika di Eropa, kata Bob, cuaca amatlah buruk. Ia harus membungkus badannya rapat-rapat. Ketika pulang ke Indonesia, cuaca amatlah bagusnya. Sejak itu ia pun memutuskan bercelana pendek dan baju kutung. “Ada dua hal yang saya memakai pakaian lengkap, menghadiri pernikahan dan kematian.”

Selepas kuli bangunan, Bob mendapat pemberian 50 ekor ayam dari kenalannya, Sri Mulyono Herlambang. Untuk mengembangkannya, ia pun minta kawan-kawannya di Eropa mengirimkan majalah beternak ayam. Di Eropa, kata Bob, majalah apa saja tersedia: Tentang bertanam sayuran, peternakan, perbengkelan, dan macam-macam.

Bob pun mulai berjualan telur ayam dari rumah kerumah, mulai lima kilogram. “Istri saya membawa dua kilo, saya tiga kilo. Dia ke kiri saya ke kanan. Awalnya telur saya tidak laku. Karena masyarakat hanya tahu telur ayam kampung. Tapi untungnya di Kemang ada warga negara asing, merekalah yang membeli. Dari situ usaha telur terus bergulir. Padahal, resepnya sederhana. Telur dimasukkan ke kantong plastik dan setiap plastik diberi setangkai anggrek.”

Sosok kreatif itu kemudian sukses sebagai yang pertama merintis Kemchick sebagai supermarket, dan Kemfood untuk industri daging olahan. Bob, yang pertama pula mengembangkan sistem tanaman hidroponik. Aneka sayuran dan buah yang berada di supermarket, itulah hasil tangan Bob. Kini total anak-anaknya–demikian Bob memanggil karyawannya–tidak kurang dari 1.600 orang.

Pada 1985 saja, Bob rata-rata menjual 40–50 ton daging segar, 60–70 daging olahan, dan 100 ton sayuran segar. “Saya hidup dari fantasi. Saya orang yang pertama yang mengenalkan telur untuk bangsa ini, pada 1970. Saya juga orang pertama yang memperkenalkan ayam pedaging, ayam broiler, jagung manis, seperti yang dikenal masyarakat saat ini.”

Selalu ‘Memprovokasi

Dengan hidupnya yang berliku dan keras, Bob pun tidak percaya begitu saja pada dunia pendidikan. Ia pun sering alergi setiap melihat para sarjana, tapi gagap mencari kerja. “Ngapain kuliah kalau sulit cari kerja?” tanya Bob. Ia pun menyodorkan sebuah buku yang berjudul Kalau Mau Kaya Ngapaian Sekolah? (2004) karya Edy Zaqeus. (Buku ini berisi 11 entrepreneur sejati, termasuk Bob).

Bob memang selalu tanpa tedeng aling-aling memprovokasi orang-orang kuliahan yang gagap dalam dunia kerja. Dalam bahasa Bob, orang kuliahan seperti ini hanya menghabis-habiskan waktu. Sebab, hanya dapat capek. Sekolah di Indonesia, kata dia, tidak membuat orang kreatif, tetapi hanya mengejar ijazah untuk menjadi pegawai; kerjanya sedikit tapi dapat gaji. “Ini yang membuat negara rusak,” kata dia.

Menurut Bob, sebuah negara akan sangat maju jika mempunyai sekurangnya 2% entrepreneur. Sementara Indonesia yang mempunyai kekayaan alam amat melimpah, hanya mempunyai 0,18% entrepreneur. “Mau apa negara hanya dengan entrepreneur yang amat sedikit ini?” tanyanya berapi-api.

Yang ia sebuat entrepreneur bukanlah pengusaha biasa. Melainkan, pengusaha yang memulai dengan kreativitas. Dengan keberanian mengambil risiko. Dengan menghargai proses. Sebab itu, ketika Bob ditanya berapa asetnya, ia menjawab ringan, “Saya nggak tahu. Saya nggak tertarik uang. Saya hanya tertarik proses mendapatkannya. Uang itu hanya dampak, bukan tujuan,” kata dia. Lagi-lagi kata-katanya bernas.

“Kalau saya pengin tahu uang tanya aja ke ke bagian keuangan. Tapi, ini pun saya nggak pernah tanya. Kalau kamu sekadar ingin tahu hitung saja nilai tanah seluas dua hektare ini. Harganya per meter Rp1,6 juta. Coba hitung sendiri berapa nilainya?” kata Bob.

Penyuka musik klasik dan jazz ini pun bertanya apa arti sukses? Ia menjawab sendiri pertanyaan itu. “Sukses adalah orang yang mampu bangkit dari kegagalan. Sukses adalah orang yang setiap menit bisa menerima kegagalan. Sukses itu mereka yang amat menghargai proses.”

Bob lantas menjelaskan bukti-bukti konkret tentang pengusaha “Alibaba” yang amat bertumbuh di masa Orde Baru, yang tidak tahu menghargai proses. Menurut Bob, para pengusaha muda yang tumbuh karena koneksi di zaman Orde Baru, umumnya rontok. “Mana mereka? Nggak ada yang bunyi. Kalau mereka ada yang dianggap berhasil karena bapaknya memang sudah kaya, itu namanya bukan sukses. Kalau hanya meneruskan usaha bapaknya lalu tidak sukses, itu bodoh!” kata dia lagi, dengan tekanan meninggi.

Menjaga Keseimbangan

Bob Sadino yang kini mulai merambah dunia properti, juga sesekali main sinetron, adalah manusia yang amat menikmati hidup. Dan, keluarga adalah surga kebahagiannya. Dengan istri yang ia temui di negeri orang, hingga kini masih setia mendampinginya. Dua putri dan tiga cucu menjadi pelengkap kebahagiaan itu.

Tentang dua anaknya Bob, juga membiarkan untuk memilih. Ketika selepas SMA, kedua buah hatinya memilih sekolah perhotelan, Bob pun mencari sekolah perhotelan terbaik di Swiss dan Singapura. Di Swiss untuk si sulung dan di Singapura untuk si bungsu. “Selesai kuliah si yang pertama memilih jualan pecel lele di Cikini yang sepiringnya Rp7.500. Kini sudah meningkat. Yang kedua, jualan pernak-pernik di Singapura,” tuturnya dengan wajah bahagia.

“Kini saya sudah cukup. Tidak mau lebih kaya dari sekarang,” kata dia. Ia kini lebih banyak ingin berbagi. Ia ingin anak-anak muda untuk tidak menyerah menghadapi keadaan. Saya inginnya semua orang di lembaga eksekutif dan legislatif punya jiwa entrepreneurship. Agar menghargai proses dan tahu apa arti sukses.

Pria berusia 75 tahun ini juga tahu betul di mana akhir perjalanannya yang penuh warna itu. Menghadap Sang Khalik. Bob, pun kemudian menjelaskan sisi religiositasnya, yang mungkin jarang dilihat orang.
Dengan meminta selembar kertas, sosok yang tak pernah lelah bekerja ini, mengambar hubungan manusia dengan Sang Khalik. Ia menggambar sebuah bulatan dengan tiga lapis lingkaran. Bob menyebut pusat lingkaran itu adalah Emosi. Lingkaran kedua ia bagi menjadi lima bagian yang menggambarkan hubungan keseimbangan manusia. Inilah yang ia sebut fiddunya khasanah (keselamatan dunia).

Ia pun menjelaskan pembagian lingkaran itu. Bagian pertama Sehat Fisik. Lingkar kedua Sehat Finansial. Bagian ketiga Sehat Pendidikan (Bob menjelaskan perintah pertama Allah swt., kepada Nabi Muhammad saw., untuk membaca: Iqra). Bagian keempat Sehat Secara Sosial. Dan, kelima Sehat Keluarga. (Bob menjelaskan keluarga adalah fundamen amat penting untuk meraih sukses).

Kemudian lingkar ketiga itulah yang ia sebutkan sebagi wilayah untuk beribadah kepada Tuhan. Bob menyebutnya sebagai wilayah wa fil akhiroti khasanah (keselamatan di akhirat). Sebab itu, haji Bob Sadino merasa saat paling bahagia adalah ketika salat berjemaah bersama keluarga.

Pria yang rambutnya sepenuhnya memutih itu lantas menyudahi pembicaraan, tapi dengan keinginan untuk terus berbagi pengalaman. “Kapan-kapan datang saja ke sini. Saya senang kalau bisa berbagi pengalaman dan punya manfaat untuk orang banyak. Untuk orang Lampung.” Kali ini suaranya agak pelan, tapi dengan kearifan yang penuh. Suara dari sosok yang memaknai hidup dengan amat berarti dan bergairah, penuh vitalitas! n

BIODATA

Nama: Bambang Mustari Sadino (Bob Sadino)
Tempat tanggal lahir: Tanjungkarang, Lampung, 9 Maret 1933
Keluarga: Bungsu dari lima bersaudara
Agama: Islam
Menikah: 1968 (Satu istri, dua anak, tiga cucu).

Pendidikan :
– SD, Yogyakarta (1947)
– SMP, Jakarta (1950)
– SMA, Jakarta (1953)

Karier:
– Karyawan Unilever (1954–1955)
– Karyawan Djakarta Lloyd, Amsterdam dan Hamburg (1950–1967)
– Pemilik Tunggal Kem Chicks (supermarket) (1969–sekarang)
– Dirut PT Boga Catur Rata (bidang ®MDRV¯retail®MDNM¯)
– PT Kem Foods (pabrik sosis dan ham)
– PT Kem Farms (kebun sayur)
– PT Lambung Andalan
– PT Andalan Citra Promotion
– PT Kemang Nusantara Travel

Alamat Rumah:
Jalan Al Ibadah II/12, Kemang, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan;
Jalaaan Cirende Raya No.2121, Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Alamat Kantor:
Kemchicks, Jalan Bangka Raya 86, Jakarta Selatan

Sumber: 
Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post. Hlm. 108-114


Terimakasih telah membaca di Aopok.com semoga bermanfaat, mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top