Birokrasi

Subki

Oleh Sudarmono

SUBKI Elyas Harun. Saya hanya dengar nama itu lewat berita-berita di radio saat ia masih menjadi wakil gubernur Lampung. Saat kemudian saya menjadi wartawan, belum kesampaian mewawancarai dia sampai dia sudah menjadi orang biasa.

Meskipun demikian, nama itu sering berseliweran. Saya tidak tahu seperti apa dia. Namun, saat namanya disebut, begitu banyak orang memujinya dengan prestasi dan kelurusannya. Juga karya-karya monumental di Lampung yang mencantumkan nama itu dalam salah satu personelnya.

Dua bulan lalu, saya mendengar berita ada peluncuran buku autobiografi Subki E. Harun berjudul Perjalanan Hidup Seorang Anak Desa di Balai Krakatau. Saya dengar, tetapi tidak hadir. Selain karena tidak punya undangan, tidak pula diberi tugas liputan, saya pikir buku yang diluncurkan itu yang seperti biasanya.

Berita-berita yang muncul dari acara peluncuran itu juga tidak saya ikuti terlalu dalam. Bahkan, saat koran saya?maksud saya koran tempat saya bekerja?menuliskan sosok Subki cukup panjang dalam rubrik Inspirasi, saya hanya membaca sekilas.

JUMAT kemarin, sebelum salat jumat, Udo Z. Karzi, sohib mendekat meja kerja saya. Dia membawa sepucuk buku sambil bergumam, ?Ada buku bagus banget, tetapi digarap asal-asalan. Sayang banget,? kata dia.

Saya lirik buku itu, ternyata buku autobiografi Subki E. Harun. Kovernya amat sederhana. Foto diri Subki dipasang pas foto lama, hitam putih. Tidak ada penerbit, tidak ada kru penggarap buku, apalagi ISBN segala. Hanya ada foto diri di kover dalam, lalu kata pengantar sekilas dengan tanda tangan, daftar isi dengan bab-bab berhuruf romawi, dan langsung menohok ke isi.

Bukunya pakai kertas Kingstruk 120 gram membuat buku setebal 220 halaman itu menjadi berat. Bahasanya lugas, struktur kalimatnya loncong-loncong saja, dan tata letaknya sekenanya. Terus terang, saya kaget dengan penampilan buku yang dicetak full color itu.

Saya intip beberapa lembar isinya. Saya kaget luar biasa. Subki menulis seperti bercerita mengisahkan setiap detail kehidupan, keluarga, dan pekerjaannya secara gamblang. Ada banyak cerita tabu yang kemudian dijadikan semacam kesaksian hidup.

Sepotong cerita tentang asal-muasal gedung Bank Bukopin Lampung di Jalan Wolter Monginsidi, misalnya, sungguh mengagetkan. Dengan runtun Subki menceritakan gedung tinggi nan megah itu ternyata milik Pemprov Lampung. Pemprov membangunkan gedung itu pada 1995 dengan dana Rp300 juta dan dipinjamkan gratis. Bahkan, Pemprov meminjamkan modal Rp1,048 miliar (saat itu kurs dolar masih di bawah Rp2.000). Dari bacaan itu kita bisa ketahui siapa yang menggangsir keuntungan. Dengan gamblang ia menyebut nama-nama terang, bukan inisial.

Saya kemudian tahu, mengapa buku itu (dugaan saya) dikerjakan sendiri oleh penulisnya. Semuanya, kecuali percetakannya. Mungkin saja ia kerjakan dengan komputer pribadi di kamarnya yang tidak tersentuh oleh siapa pun, (mungkin) oleh istrinya sekalipun.

Sebab, jika ada orang lain yang membaca sebelum naik cetak, mungkin saja buku itu urung terbit. Itu (mungkin lagi) karena saking inginnya ia menumpahkan unek-uneknya yang tidak mungkin tersalur jika tidak dengan memoar ini.

Satu ungkapan penutup dalam bab gedung Bukopin itu, dia menulis, ?Selamat kepada siapa pun yang menikmati uang itu. Semoga menjadi berkah untuk diri dan keluarganya. Amin.? Saya belum selesai membaca, tetapi buku keburu direbut Udo. Maaf. n

Sumber: Nuansa, Lampung Post, Senin, 2 Desember 2013


Terimakasih telah membaca di Aopok.com semoga bermanfaat, mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top