Akademisi

Arsitektur Ramah Lingkungan Rislan Syarif

Oleh Dian Wahyu Kusuma

Rislan Syarif

Arsitek seharusnya tidak dibatasi. Sebab, arsitek punya ideologi selaras dengan alam, bukan hanya memikirkan uang saja.

LELAKI 64 tahun itu tampak berusaha keras untuk tetap bersemangat. Raut wajahnya memang terlihat lelah, tetapi masih semangat untuk menggambar desain. Dia, Rislan Syarif.

Di lantai dua rumahnya yang sejuk dan asri, ia menuangkan ide yang ada di kepalanya. Meski saat ini sudah banyak program desain digital di komputer, seperti Auto Cad dan lainnya, Rislan memilih mendesain lewat tangannya sendiri secara manual. Tarian tangannya di atas kertas kalkir tanpa mistar mengguratkan kebebasan dengan gambar yang lebih ekspresif.

“Lebih puas,” ujar doktor alumnus Toyohashi University of Technology Jepang itu, di rumahnya, Jalan Imam Bonjol No. 127 A, Bandar Lampung, saat ditanya soal pilihan manualnya.

Pintu gerbang Taman Margasatwa Ragunan atau lebih dikenal dengan sebutan Kebun Binatang Ragunan, Jakarta, menjadi buktinya di bidang arsitektur.  Rislan Syarif menjadi pemenang sayembara pintu gerbang Ragunan tahun 1984 di DKI Jakarta tingkat nasional. Dengan konstruksi ferrosemen ia merancang gerbang setinggi 54 meter itu.

Rislan juga arsitek yang mendesain gedung Rektorat Universitas Lampung lima lantai. Berbagai gedung yang berbeda, seperti dua gedung kedokteran Unila menjadi tempat perkuliahan yang sejuk dan nyaman.

Apalagi gedung laboratorium komputer MIPA, sepintas bila dilihat bukan seperti gedung laboratorium yang biasanya. Ciri khasnya, ada lingkaran di sisi samping atau depan. 

Dari Kain ke Arsitektur

Sebagai orang Lampung dan paham arsitektur modern dan etnik, kiprah Rislan di pergulatan desain tidak selalu datar. Saat melihat bangunan rumah adat Lampung di Taman Mini Indonesia Indah, ia protes. Sebab, tata corak dan desain mahkota Lampung berupa siger di atap rumah adat itu dinilai tidak pas.

Komplainnya kepada perancang rumah adat itu melalui surat mendapat tantangan. Ia justru ditantang untuk membenarkan rumah khas Lampung yang sesungguhnya. Namun, pengetahuannya tentang arsitektur Lampung yang belum detail membuat ia getol meriset rumah Lampung.

Di Kenali, Lampung Barat, menjadi objek penelitiannya. Lalu Rislan meneliti tentang budaya Lampung lewat kain.

Pada 1984, Rislan memopulerkan motif kapal. Di Lampung, menurut penelitiannya, lekukan di kanan kiri pada motif kapal menandakan kekuasaan. Kini banyak bangunan di Lampung menggunakan motif kapal sebagai ornamen di atapnya.  

Rislan juga menunjukkan kiprah desainnya di beberapa kabupaten di Lampung. Tugu Kayu Aro di bundaran Kota Liwa, Lampung Barat, dan bundaran Kotabumi, Lampung Utara (sekarang sudah diganti Tugu Payan) adalah desainnya. 

Pelukis Komik

Sejak SMP, Rislan sudah berusaha mencari uang tambahan menjadi pelukis komik. Ia bertahan selama dua tahun sebagai pelukis komik. Hingga saat mau terbit, komiknya dibredel oleh aparat polisi di Jakarta. Sejak itu Rislan beralih ke usaha pelukis kain batik.

Ia pernah menjadi juara II dan III pada Muktamar Muhammadiyah lomba poster tahun 1963. Rislan memilih bersekolah di STM Teladan 3 Jetis Yogyakarta jurusan pelukis komik. 

Pada 1972, ia mulai membatik untuk turis di Yogyakarta. Hasil karya batik kainnya juga berhasil dipamerkan di Bandung. Hingga ia memilih mengambil arsitektur di Univeritas Diponegoro.

Pengalaman pertamanya mendesain rumah rektornya, Prof. Sudarto. Seni arsitektur bagi Rislan adalah bagaimana mendesain tidak merusak lingkungan.

Menurutnya, tak masalah membuat rumah di bukit, asalkan rumah memiliki luas lahan setidaknya 1.000 meter persegi, punya halaman luas tidak rapat-rapat antarrumah, bukan rumah tipe 36. Tidak mengubah kondisi tanah yang ada, tapi bangunan menyesuaikan dengan kondisi tanah. 

Rislan menambahkan bentuk rumah akan menyesuaikan dari kondisi lahan rumah itu sendiri sehingga tidak merusak lingkungan. “Nanti akan ketemu dengan sendirinya bentuk rumah. Tetapi kalau belum indah, bukan seniman namanya,” ujar lelaki yang memiliki sertifikat ferrosemen A.

Bagi Rislan, arsitektur di Indonesia harus modern, tapi unsur tropis harus tetap ada. Ia juga menentang adanya raperda arsitektur tradisional Lampung.

“Saya tidak setuju, arsitek itu tidak bisa diputuskan lewat perda, tapi filosofi. Nantinya tidak kreatif. Jangan dilihat kulitnya seperti lambang siger saja, tapi isinya. Kapan Lampung mau maju, arsiteknya jangan dibatasi. Arsitek yang punya ideologi bukan hanya memikirkan uang saja,” kata bapak dua anak ini.

Menurut Rislan, warga Lampung yang memiliki rumah tradisional atau punya konsep kelampungan, harus ada apresiasi dari pemerintah. Tidak selalu musti uang, tapi bisa dengan yang lain, misalnya seseorang ingin membuat rumah khas Lampung pemerintah bisa membebaskan biaya izin mendirikan bangunan dan sebagainya. (M1)

Sumber: Lentera, Lampung Post, Minggu, 2 Maret 2014


Terimakasih telah membaca di Aopok.com semoga bermanfaat, mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top