Gele Harun Nasution

Gele Harun Nasution (1910-1973): Residen-Pejuang yang Anti-Belanda

SAAT perang gerilya di Lampung, paling mudah mengenali Mr. Gele Harun Nasution. Perawakannya sangat khas: Berewokan, kepala plontos, dan (biasanya) ada handuk kecil melilit di leher. Temannya seperjuangan menjuluki dia “Si Berewok”.

Pria kelahiran Sibolga, 6 Desember 1910, ini sebenarnya bukan tentara. Dia seorang sarjana hukum (mester in de rechten, disingkat Mr.) lulusan sekolah hakim tinggi di Leiden, Belanda. Pakar hukum Indonesia banyak menuntut ilmu di kampus hukum terkemuka itu.

Meski berdarah Tapanuli, Gele Harun bukan orang asing di Lampung. Orang tuanya sudah lama bermukim di Lampung. Ayahnya, Harun Al Rasyid Nasution adalah dokter yang ditugaskan di daerah ini. Tanah keluarga dokter Harun membentang luas di kawasan Tanjungkarang Timur. “Tanah di sepanjang Jalan Dr. Harun itu dahulu punya keluarga kita,” ujar Siti Latifah Hanum, putri sulung Gele Harun.

Lulus sekolah menengah, Gele Harun dikirim ayahnya kuliah hukum ke negeri Belanda. Akhir 1938 dia kembali ke Tanah Air setelah lulus kuliah. Awal 1939, sesuai dengan disiplin ilmunya, ia membuka kantor advokat/pengacara. “Dia-lah advokat pertama di Lampung,” kata Siti Nilam Tjahaja Dalimunte, istrinya (Lampung Post, 16 Agustus 1985).

Rasa nasionalismenya menggelegak saat belajar hukum di Belanda. Dia sangat benci melihat orang-orang Belanda hidup berfoya-foya di negerinya setelah menjajah dan menguras harta kekayaan Indonesia.
Gele memulai perjuangan tahun 1945 bersama Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang dipimpinnya. Namun, aktivitasnya di API terhenti karena ia ditugaskan menjadi hakim di Mahkamah Militer, Palembang, tahun 1947 dengan pangkat letkol (tituler).

Hanya beberapa lama ia jalani tugas itu karena Belanda–waktu itu Palembang sudah dijadikan “negara boneka” oleh Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dr. H.J. van Mook–mengultimatum semua tentara Indonesia (termasuk hakim militer) angkat kaki dari Palembang.

Apa boleh buat, Mr. Gele dan keluarga boyongan lagi ke Lampung; naik kereta api dari Stasiun Kertapati–setelah menunggu kereta api selama tujuh hari. Ia pun bergabung lagi dengan API dan melanjutkan perjuangan.

Kontak senjata pasukan Gele Harun melawan Belanda dimulai saat Agresi II, akhir 1948. Dalam agresi itu kota-kota utama di Lampung, Tanjungkarang dan Telukbetung, memang akhirnya diduduki Belanda.
Awal 1949, tentara Belanda mendarat di Panjang. Begitu keluar kapal, yang pertama kali ditanya ke masyarakat adalah rumah Gele Harun. Informasi itu segera sampai ke Gele Harun sehingga ia segera memboyong keluarga dan stafnya ke Pringsewu.

Pada 5 Januari 1949, di sebuah pendopo di Pringsewu diadakan musyawarah untuk menentukan pemerintahan Keresidenan Lampung. Dalam pertemuan itu hadir antara lain Komando S.T.L. Letkol Syamaun Gaharu, Mayor N.S. Effendy, M. Yasin dari Masyumi, H. Abdul Halim dari PSII, dan K.H Gholib dari Pringsewu. Rapat memutuskan untuk mengangkat Letkol Mr. Gele Harun sebagai residen Lampung (kepala pemerintahan darurat) menggantikan Residen Rukadi yang tetap berada di daerah pendudukan Belanda di Tanjungkarang.

Baru dua pekan bertugas, 18 Januari 1949, Gele Harun terpaksa memindahkan keresidenan dari Pringsewu ke Talang Padang. Perpidahan ini dilakukan karena Belanda makin gencar melakukan serangan untuk merebut Pringsewu.

Akhirnya, 1 Maret 1949, Belanda menyerang dengan mendaratkan pasukan dari Kotaagung. Belanda menyerang dari Kotaagung ke Talang Padang untuk menguasai Pringsewu. Serangan lain diarahkan dari Gedongtataan dan Gadingrejo. Belanda pun berhasil menguasai Pringsewu.

Pemerintah darurat di Talang Padang yang sudah lama menduga akan gerakan pasukan Belanda, pindah ke pegunungan Bukit Barisan di Desa Pulau Panggung. Dari sana pindah lagi ke Sumber Jaya, Lampung Barat.

Pemimpin yang Tegas

Selama berjuang di hutan Bukit Barisan, istri Gele Harun bersama putra-putrinya mengatur distribusi makanan. Karena sulitnya makanan dan obat-obatan, seorang putri Gele Harun (Harinawati alias Butet, 8 bulan) jatuh sakit dan akhirnya meninggal. Jasad putrinya dimakamkan di sebuah desa, di tengah hutan kawasan Way Tenong.

Gele Harun dan pasukannya baru keluar dari hutan setelah gencatan senjata (cease fire) antara Indonesia dan Belanda pada 15 Agustus 1949. Berita itu disiarkan melalui All India Radio yang didengar pelajar pejuang dalam staf Pemerintah Darurat Keresidenan Lampung. Tapi, Gele Harun dan pasukannya baru memasuki Tanjungkarang setelah penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949.

Mr. Gele Harun kembali ke Tanjungkarang dan diangkat menjadi ketua Pengadilan Negeri pada 1 Januari 1950. Kemudian dia diangkat kembali menjadi residen Lampung pada 1 Januari 1950 dan menjabat hingga 7 Oktober hingga 1955.

Selain berjuang melawan penjajah, Gele Harun juga berperan dalam pembentukan Provinsi Lampung. Setelah menduduki berbagai jabatan politik, pada 1968 ia kembali ke profesi awalnya sebagai advokat. Pada 4 April 1973, Mr. Gele Harun meninggal dan (atas permintaannya) dimakamkan di TPU Kebon Jahe, di antara makam ayah dan ibunya.

Di mata anak-anaknya, Gele Harun adalah sosok pejuang dan pemimpin sejati. Seorang ayah yang baik, bisa mengayomi, jujur, disiplin, dan sangat tegas. “Ayah berpesan pada kami untuk selalu berkata benar,” kata Ibnu Harun, putra keempatnya.

Nama pejuang Lampung itu kini diabadikan sebagai nama jalan di kawasan Pahoman, Bandar Lampung. Sebuah bukit di Bandar Lampung juga disebut warga setempat Bukit Gele Harun. “Dahulu ayah memang suka berburu di sana, tapi tanah itu sudah lama dijual,” kata Siti Latifah Hanum. Kini tanah berbukit itu dikelola swasta menjadi tempat wisata. n

BIODATA

Nama: Mr. Gele Harun Nasution
Tempat, tanggal lahir: Sibolga, 6 Desember 1910
Meninggal: Bandar Lampung, 4 April 1973
Pendidikan:
– MULO
– AMS (Jakarta)
– Sekolah Tinggi Hakim, Leiden, Belanda (1935-1938)

Ayah: Dokter Harun Al Rasyid Nasution
Ibu: Halimatussa’diyah
Istri: Siti Nilam Tjahaja
Anak-Anak:
– Siti Hanum
– Makhmud Hamzah
– Hana Kusuma
– Maulana Ibnu Harun
– Makhyudin
– Mulkarnaen
– Hanisa

Karier dan jabatan:
– Advocaat en Procureur di Lampung (1938–1942)
– Ketua Pengadilan Negeri Tanjungkarang (1942–1945)
– Ketua Pengadilan Negeri merangkap Ketua Mahkamah Tentara Sumatera Selatan (1945–1948)
– Kepala Pemerintahan Darurat merangkap Pemimpin Gerilya Lampung (1949–1950)
– Residen merangkap Kementerian Kehakiman Yoguakarta (1950–1955)
– Anggota Konstituante (1956–1959)
– Anggota DPRGR MPRS dari PNI (1965–1968)
– Pengacara (1968-1-973)
– Veteran Golongan A

Penghargaan:
– Satyalancana Kesetiaan Brigade Garuda Hitam
– Satyalancana Penegak
– Sewindu ABRI
– Satyalancana Saptamarga
– Bintang Gerilya
– Menumpas Gerakan 30 September

Sumber:
Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post. Hlm. 26-29.


Terimakasih telah membaca di Aopok.com semoga bermanfaat, mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top