Amalsyah Tarmizi

Jadilah Sang Juara!

KOMANDAN Korem 043/Garuda Hitam Kolonel Czi. Amalsyah Tarmizi berkali-kali menyemangati kami dengan mengatakan “Jadilah sang juara”. Menurut dia, tekad menjadi juara itu akan membangun semangat untuk melakukan yang terbaik yang kita mampu. Misalnya, lebih rajin belajar, membuang rasa malas jauh-jauh, dan melakukan tugas dengan gembira.

Teman-teman tahu tidak, semangat sang juara ini diterapkan Pak Amalsyah selama 40 yang lalu. Dan, itu mengantarkannya menjadi pimpinan di Korem Garuda Hitam ini. Karena itulah dia menasihati kami untuk memiliki mental dan semangat yang sama agar kelak kami bisa sukses seperti dia. Amin.

Tentunya teman-teman juga ingin menjadi sang juara bukan? Bagaimana caranya? Simak wawancara kami; Charissa Theodora (SDK Penabur, Metro), Naufal Rhitando (SDN 2 Sungailangka, Pesawaran), Sanjung Maharani dan Faiza (SDN 2 Sukadana Pasar, Lampung Timur), berikut ini:

Selamat siang Pak, apa kabar?

Selamat siang juga. Alhamdulillah baik.

Sudah berapa lama menjadi Komandan Korem di sini, Pak?

Sejak 5 Desember 2011, berarti 4 bulan 12 hari ya.

Iya, baru juga ya Pak. Apa kendala terberat yang Bapak rasakan saat ini?

Alhamdulillah tidak ada yang berat. Tapi juga tidak ada yang ringan. Yang pasti apa pun yang dihadapi Bapak laksanakan dengan sungguh-sungguh, senang hati, dan ceria. Apa pun yang kita lakukan kalau bersama-sama itu tidak ada yang berat. Tapi jangan pas ujian, ayo kata Pak Danrem kita harus kerja sama, itu ngepek namanya, hahaha.

Bapak senang tidak jadi Danrem?

Oh tentu, tentara itu di mana pun harus senang, makanya ada lagunya Di sini senang, di sana senang, di mana-mana hatinya senang (sambil berdendang). Dalam keadaan apa pun juga harus tetap gembira, misalnya dikasih makan lauknya daging kan enak, ayam juga enak, begitu di rumah dikasih ikan asin, enak juga. Harus selalu gembira.

Tugas Bapak kan sangat padat, bagaimana mengatur waktu antara tugas dan keluarga?

Nah itu. Jadi, Bapak ini kalau bertemu dengan keluarga itu bukan banyak bertemunya yang dihitung, tapi kualitas pertemuannya. Anak saya dua di Bandung, satu kuliah di ITB dan yang satu SMA. Sedangkan si bungsu yang masuk kelas VI SD di Palembang, tinggal bersama ibunya. Saya rajin SMS dan Facebook-an dengan anak-anak. Waktu mau ujian kemarin saya pesan pada mereka agar rajin belajar dan jangan lupa baca doa sebelum ujian. Jadi, terus menjalin komunikasi. Kala pas liburan sekolah, kami kumpul. Semua punya tugas masing-masing, jadi saling mengerti.

Siapa orang yang memotivasi Bapak sehingga bisa sukses seperti sekarang?

Semua orang, tapi pada awalnya tentunya ayah dan bunda. Kita berangkat dari rumah yang memotivasi kita ayah dan bunda, begitu mulai sekolah ada bapak dan ibu guru yang tidak lelah menyemangati kita terus kan? Ketika bermain ke keluarga besar ada paman dan tante yang berhasil, ini juga jadi motivasi, saat jadi tentara ada atasan atau komandan kita yang menjadi motivasi.

Ya, ketika saya melihat dunia, saya akan belajar dari semua yang baik-baik, apakah itu teman kita, tetangga kita, paman kita, tante kita, dosen kita, ataupun senior kita. Termasuk dari Adik-adik ini yang bertanya dengan ceria, Bapak belajar untuk selalu ceria dan bergembira, atau paling tidak kalian ini mengingatkan Bapak ini sudah tua, hahaha.

Hahaha, Bapak bisa saja. Apakah sejak kecil Bapak memang bercita-cita menjadi tentara?

Iya, sejak kecil kelas V Bapak sudah menulis di kertas oret-oretan semua gelar di belakang nama Bapak. Jenderal Profesor Doktor Amalsyah Tarmizi. Itu dulu cita-cita Bapak, banyak cita-citanya, ya jadi jenderal, doktor, dan profesor. Namun, ketika SMP dan SMA sudah semakin mengarah, Bapak ingin menjadi tentara. Kelas II SMA, Bapak mulai mempersiapkan diri, tanya-tanya sama paman yang kebetulan seorang tentara, apa sih syarat jadi tentara? Semuanya mulai Bapak persiapkan, lulus SMA melamar ke Akabri.

Menurut Bapak, apa kriteria menjadi tentara yang baik?

Hampir sama dengan menjadi apa saja yang baik, mau jadi wartawan yang baik, insinyur yang baik, polisi yang baik, harus mencintai tugasnya. Terus harus disiplin dan menaati aturan. Kalau Bapak jadi tentara harus taat pada pimpinan, komandan. Kalau anak-anak di rumah harus patuh sama orang tua, kalau di sekolah patuh sama bapak dan ibu guru. Adik-adik yang menjadi reporter cilik ini harus cintai tugas kalian. Oke?

Oke Pak. Terima kasih atas wawancaranya ya, Pak. Semoga Bapak semakin sukses!

Amin. Terima kasih Adik-adik reporter cilik. (M-2)

Empat Puluh Tahun Menuju Cita-Cita

DI TENGAH keseriusan siswa-siswa SDN 1 Rawalaut, Bandar Lampung, mengerjakan ujian, Amalsyah asyik menulis sebuah nama di kertas oretan. Empat puluh tahun kemudian, dia tertawa mengingat nama yang dia tulis di kertas itu, “Jenderal Profesor Doktor Amalsyah Tarmizi”.

“Hahaha, dulu waktu kelas V SD Bapak suka mengumpulkan semua gelar dan menuliskan di belakang nama Bapak. Itu sebagai bentuk motivasi dan cita-cita Bapak, tapi butuh waktu cukup panjang untuk meraih cita-cita itu,” kata Pak Amalsyah sambil tersenyum.

Dia menyemangati kami untuk segera menetapkan cita-cita dan bersiap meraihnya. Sebab, menurut Pak Amalsyah, untuk meraih cita-cita itu kita harus bersaing menjadi sang juara dalam waktu yang cukup panjang. “Kalian harus bersaing 6 tahun di SD, 3 tahun di SMP, 3 tahun di SMA, dan 4 tahun saat kuliah. Selama 16 tahun itu, jaga terus semangat untuk menjadi pemenang,” kata alumnus SDN Teladan ini.

Pak Amalsyah mengatakan untuk menjadi sang juara bukan berarti meninggalkan kegembiraan bermain bersama teman-teman. Pak Amalsyah menceritakan, dulu dia suka main sepak bola di lapangan dekat rumahnya. Pulang sekolah, dia lansung berlari ke lapangan bersama teman-temannya. Baju seragam dan tas sekolah dilepas dan digantung di pinggir tiang gawang. Lalu, asyiklah dia bermain sampai sore.

“Habis magrib saat mau belajar di rumah, Bapak bingung, tasnya mana? Bapak lupa kalau tas itu digantung di tiang gawang. Jadi terpaksa pakai senter Bapak cari-cari di lapangan, akhirnya ketemu, baru deh buka-buka buku pelajar,” katanya sambil tertawa keras mengingat pengalaman lucu di masa kecilnya.

Walaupun suka bermain, Pak Amalsyah terkenal cerdas saat SMA. Dia sangat menyukai pelajaran Matematika. Suatu saat, dia dipanggil guru Matematika-nya masuk ke kelas III, padahal dia baru duduk kelas II SMA jurusan IPA I. “Ada apa Pak?” tanya Amalsyah waktu itu. Ternyata, dia ditodong untuk mengerjakan soal Matematika yang sudah ditulis sang guru di depan kelas.

“Kamu bisa enggak mengerjakan soal itu?” kata Amalsyah mengingat perintah gurunya waktu itu. Amalsyah langsung mengerjakan soal itu. “Nah, anak kelas II saja bisa, masak kalian anak kelas III tidak bisa?,” ujar gurunya memuji kecerdasan Amalsyah yang berhasil mengerjakan soal dengan benar.

Kejadian itu terpatri di pikiran Pak Amalsyah sampai kini. (M-2)

Sumber:
Reporter Cilik, Lampung Post, Minggu, 22 April 2012


Terimakasih telah membaca di Aopok.com semoga bermanfaat, mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top