Kapten Abdul Haq

Kapten Abdul Haq (1926-1965): ‘Bom Waktu’ bagi Belanda

HIDUP Kapten Abdul Haq penuh lumuran nilai perjuangan. Dia gigih menghalau penjajah Belanda dari bumi Lampung.

Sebagai komandan, Abdul Haq dikenal amat memperhatikan bawahannya yang seluruhnya bujangan. “Jika telah berkeluarga, nanti pikiran mereka terpecah dan ragu-ragu bertempur,” kata dia suatu ketika. Maka, ketika seorang ajudannya menikah, dengan terpaksa prajurit itu pun dikeluarkan dari pasukan.

Abdul Haq (dia amat mengagumi Bung Karno) berasal dari Gyugun, pasukan yang memang dipersiapkan untuk perang. Pasukan ini hanya terdapat di Sumatera dan Singapura.
Perhatian yang diberikan pria kelahiran Menggala ini begitu dalam dan intens; termasuk berapa jumlah peluru yang dimiliki anak buah. Ketika mereka kekurangan amunisi, akal diputar. Maka, alat-alat yang didapat dari bengkel sepeda mereka “rekayasa” untuk dijadikan peluru. Belerang dan campuran lain dijadikan amunisi. Untuk membungkusnya, sehingga menjadi pelor, mereka mempergunakan panci dan dandang.

Jika berperang, Kapten yang menikah April 1950 ini selalu memimpin di depan. Dengan demikian, anak buahnya sungkan jika tidak mengikutinya. Dalam garis perjuangan kemerdekaan nasional, nama Kapten Abdul Haq lalu identik dengan nama pasukannya: Pasukan Abdul Haq.

Ketika masih di Palembang (setelah dia mendidik calon-calon perwira) pasukan yang dikenal dengan nama Batalyon Zeni ini dikenal karena keberaniannya dalam pertempuran dengan Belanda. Bahkan, nama pasukan ini sudah cukup membuat Belanda merinding. Belanda merasakan kehadiran prajurit kelahiran 1926 ini sebagai “bom waktu” bergerak yang sewaktu-waktu dapat meledak di jantung pertahanan mereka.

Awalnya, waktu pasukan ini di Palembang, mereka berkedudukan di Kebon Duku, Palembang. Tempat itu amat strategis untuk memutuskan mata rantai pasukan Belanda yang berpusat di Rumah Sakit Charitas dan Benteng. Tidak heran jika kedudukan pasukan ini menjadi incaran pengeboman Belanda.

Pengalaman dahsyat yang dipetik pasukan ini terjadi pada pertempuran lima hari di Palembang dan Payakabung, setelah mereka mundur akibat gempuran musuh. Pertempuran di Desa Modong, dekat wilayah pertama, juga melahirkan ketegangan pertempuran yang tidak terlupakan. Waktu itu Belanda sedang melakukan gerak maju. Atas perintah Panglima Divisi 1 (Kolonel Bambang Utoyo), pasukan Kapten Abdul Haq diperintahkan menyerang pasukan Belanda yang sedang bergerak maju. Pengadangan ini terjadi di Desa Modong (dekat Kali Modong).

Hujan tembakan dari senjata-senjata berat, yang dipercayakan kepada Serma Darius Silitonga rekan seperjuangannya, mengiringi pertempuran dahsyat tersebut. Sejak itulah nama Kapten Abdul Haq dan Silitonga tidak terpisahkan, khususnya dalam sukses pertempuran selanjutnya. Sukses demi sukses dalam peperangan dengan musuh hampir selalu mengiringnya dalam setiap pertempuran menegakkan Merah Putih.

Setelah Baturaja, Sumatera Selatan, diduduki Belanda (dan usaha merebutnya kembali gagal) pasukan Abdul Haq dipercaya menempati front Martapura dan lini pertempuran di Desa Gilas dan Sepancar. Setelah beberapa lama di front Martapura, pasukan mereka ditarik beristirahat di Tanjungkarang. Asramanya di depan Nuwo Balak (bangunan bersejarah ini diruntuhkan begitu saja Maret 2008 untuk perluasan Hotel Grand Anugerah Jalan Raden Intan).

Ketika Martapura jatuh di tangan Belanda, pasukan ini dikirim kembali ke garis depan. Mereka menempati front Way Tuba, markas di Desa Giham sampai penghentian tembak-menembak sebagai hasil perjanjian Renville. Setelah itu, pasukan ini ditarik ke Kotabumi. Ketika Batalion terbentuk, pasukan Abdul Haq dimasukkan sebagai Kompi II; kendati sebelumnya pasukan ini merupakan bagian dari Garuda Merah.

Pada 31 Desember 1949, mereka kembali ke front Way Tuba. Sebab, pimpinan Angkatan Darat pada waktu itu berpendapat, Belanda akan menduduki Lampung dari arah Martapura. Namun, ketika mereka tiba di Stasiun Kotabumi, pasukan ini mendapat berita bahwa Belanda telah menduduki Tanjungkarang dari arah laut. Mereka pun kembali.

Setelah mereka sampai di Desa Bekri, mereka mendapatkan kenyataan: Branti sudah pula diduduki Belanda. Lalu, Kapten Abdul Haq memutuskan pasukannya agar dibagi dua: Satu dipimpin Letnan Achmad Bursyah yang bertugas menghambat kemajuan Belanda antara Desa Bekri dan Metro.

Pimpinan Angkatan Darat di Tanjungkarang memutuskan merebutnya. Pasukan Kapten Abdul Haq kemudian bergabung dengan pasukan Alamsyah Ratuprawiranegara. Terjadilah pertempuran dahsyat di Desa Kemiling. Ternyata pasukan Belanda gencar melakukan perlawanan. Alamsyah memerintahkan pasukannya mundur. Sedangkan Kapten Abdul Haq tetap mengomandokannya maju. Pertempuran menjadi tidak seimbang. Seorang anggota pasukan Abdul Haq, Kopral Hasan, gugur. Sedangkan Komandan Peleton andalannya, Mayor Darius Silitonga, luka parah.

Dengan persenjataan lebih kuat, pasukan Belanda terus maju, baik dari arah Tanjungkarang maupun dengan menduduki Kotaagung dari arah laut, kemudian maju ke Talangpadang. Posisi TNI terjepit. Pringsewu segera diduduki Belanda.

Meskipun demikian, Abdul Haq tidak henti-hentinya menyerang pasukan Belanda mulai Tanjungkarang–Kotaagung, Gedongtataan–Kedondong; bahkan dalam Kota Tanjungkarang–Telukbetung pada waktu malam. Pada waktu Pringsewu diduduki Belanda, markas pasukan Kapten Abdul Haq dialihkan. Mula-mula ke Desa Fajar Baru, ke Desa Pandan Surat, kemudian ke Desa Pandan Sari, Sukoharjo.

Pasukan dibagi beberapa pos. Antara lain Peleton Syukur di Umbul Jawa, Sukadanaham; sebagai batu loncatan untuk menyerang Tanjungkarang–Telukbetung. Peleton Syahlan dipersiapkan mengganggu Belanda antara Pringsewu dan Pagelaran. Kapten Abdul Haq sendiri bergerak dengan pasukan lainn mulai Gadingrejo–Tanjungkarang hingga Gedongtataan–Kedondong. Beberapa kali mereka mencoba memasuki Tanjungkarang dengan menimbulkan kebakaran pada malam hari seperti kebakaran di Pasar Tanjungkarang (sekarang Plaza Bandar Lampung/Ramayana). Mereka membersihkan pasukan pengganggu rakyat seperti yang mereka lakukan terhadap pasukan di sekitar Way Kunang (Lampung Utara).

Dengan disepakatinya perjanjian Roem-Royen (untuk mengakhiri permusuhan Indonesia-Belanda), terhitung 4 Agustus 1948 berlaku penghentian tembak-menembak untuk Pulau Jawa dan tanggal 14 Agustus 1949 berlaku untuk luar Jawa pada pukul 00.00. Melihat kesempatan yang diberikan perjanjian tersebut, Abdul Haq dengan pasukannya di Pandan Sari, plus dari Desa Umbul Jawa, Sukadanaham, Kaliawi, pada pukul 24.00, 24 Agustus 1949, telah mengibarkan bendera di puncak Bukit Kucing sebagai tanda bahwa di sana adalah wilayah Republik.

Pada April 1965, Kapten Abdul Haq menghadap Ilahi karena sakit mag yang berakibat pendarahan. Mertua Sri-Bintang Pamungkas ini dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Tanjungkarang. Seruas jalan di kawasan Rajabasa, Bandar Lampung, dipersembahkan bagi Sang Pejuang: Jalan Kapten Abdul Haq. n

Sumber:  
Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post. Hlm. 68-71.


Terimakasih telah membaca di Aopok.com semoga bermanfaat, mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top