Profil Pengusaha Sukses: Martini
Dia terlahir menjadi sosok gadis kecil biasa asli tepian Sungai Progo, Kulon Progo, Kota Yogyakarta. Kini Martini sukses berbisnis tas ekspor asli Indonesia. Sejak kecil pengusaha ini memang dikenal rajin bekerja walau harus sekolah.
Sebelum bersekolah di SD Muhammadiyah Banguncipto, ia lantas menjajakan makanan ke para pekerja pasir di daerahnya. Sore hari dilanjutkan dia disibukan mencai kayu bakar dan rumput pakan ternak.
Anak ketiga pasangan, Rame Sarwo Utomo dan Ponikem, yang selalu mengorbankan waktu untuk bermainnya. Ia punya cita- cita mulia yakni menjadi seorang guru. Martini yang ingin menjadi guru kemudian melanjutkan pendidikan ke sekolah pendidikan guru (SPG) di Kecamatan Sentolo.
Sukses Tanpa gelar
Namun, baru sebulan perkuliahan, kedua orang tuanya menyuruhnya berhenti. Soal apalagi kalau bukan itu tantang biaya sekolah yang tinggi. Jadilah dirinya drop- out menjelang kenaikan ke kelas dua.
Memilih menikah dini, Martini cuma bisa hidup susah, usahanya hanyalah berjualan dagangan ke Yogya, bersepeda sejauh 15 km. Ketika masih remaja, ia sudah menikah dengan Nurhadi, seorang buruh bangunan.
Profesi sang suami yang bergantung oleh proyek, membuat Martini sering ditinggal pergi keluar. Tak jarang ia ikut sang suami bekerja proyek hingga ke Padang, Sumatra Utara. Martini kemudian diperbantukan oleh perusahaan untuk bersih- bersih dan memasak.
Itulah masa- masa sulit di kehidupannya menjadi seorang istri berbakti. Perempuan kelahiran Gunung Kidul, 11 Mei 1972, sekarang telah hidup makmur. Bagaimana? Dia berubah karena brand Martina Natural, mereka dagang sekaligus perusahaan ekspor segala produk kerajinan.
Dia memproduksi sandal, sepatu, dan kesemuanya itu terbuat dari enceng gondok. Ditemui awak media di rumahnya, RT 4/RW 2 Bantar Kulon, Bangun cipto, Sentolo, Kulonprogo, Martini baru saja mengirim bagian atas sandal sebanyak 20 ribu pasang ke pelanggannya di Italia.
Tujuan ekspor produknya meliputi negara Prancis , Italia dan Spanyol. Bisnisnya bisa dibilang tidak terlalu rumit. Dia itu hanya menjual sandal dan tas dari anyaman eceng gondok. Menjadi istimewa bagaimana caranya memberdayakan masyarakat luas.
Kini mereka mampu aktif merubah tanaman yang dianggap sampah menjadi produk. Bisnisnya cukup dikerjakan di belakang rumah yang diubahnya menjadi bengkel kerja. Dari kebun berluas 3000 meter persegi, ada 40 orang asik mengerjakan produk- produk anyaman tiap harinya.
Diluar pegawainya itu masih ada kelompok- kelompok binaan. Mereka para ibu- ibu yang mendapatkan perhatian khusus olehnya. Mereka lalu mengerjakan tugas- tugas sesuai pesananan, dan bahan serta kelengkapan produksi akan diberikan oleh Martini langsung.
Kelompok usahanya tersebar di daerah Gunung Kidul, Purworwjo, Bantul,, Sleman, Magelang dan Klaten. Total anggota kelompok tersebut mencapai 500 orang. Pekerjanya lepas ini hanya ditugasi membuat bagian tertentu dari sandal, sepatu atau tas.
Sedangkan finishingnya akan dilakukan oleh karyawan tetap yang sudah ahli. Bisnis ini dimulai ketika Martini bekerja sebagai penjaga showroom kerajinan di Bantul, DIY. Pada 1998, Martini yang menjadi pegawai disana harus diberhentikan.
Krisis Moneter 98
Kala itu pemilik usaha memutuskan menutup bisnisnya karena krisis moneter. Karena khawatir atas kehidupan Martini, sang pemilik lantas menyarankan agar berbisnis sejenis dirinya. Majikannya berusaha meyakinkan dirinya ketika itu, di sebuah warung soto di Bantul.
“Kalau dalam dua tahun belum ada kontainer, kamu datang kesini dan jitak kepala saya,” katanya menirukan gayanya.
Awalnya ia ragu karena modal dan pendidikan yang tak mendukung. Namun motivasi sang majikan membuat hatinya membulat. Martini bermodal Rp.250 ribu memulai bisnisnya. Ia membeli satu mesin jahit bekas lalu berlari ke Congot, Kulon Progo, berkelana mencari bahan baku.
Di 1 Maret 1999, Martini telah berhasil membuat produk sendiri. Dia menjajakan produk anyaman seperti tas dan sandal ke pedagang kerajinan. Bersepeda berkeliling kota Yogya, ia menghantarkan produknya bermodal sepeda tua.
“Pesanan diantara minimal dua kali sehari,” tuturnya. Ternyata produk karyanya bisa laku keras di pasaran Yogya, bahkan sampai tidak tertangani sendiri.
Bisnis Martini Natural mulai berkembang pesat sejak awal tahun 2003. Dia bahkan ikut berbagai pameran kerajinan, dan bisa membuka agen di wilayah Jakarta, juga aktif memasok beberapa toko di Bali. Ekspor produk pertamanya yaitu ke Puerto Rico.
Dia juga melayani pesanan secara invidual. Salah satu pelanggan yaitu putri kedua SHB X, GRA. Nurmagupita atau Pembayun. Bisnisnya sendiri pernah jatuh pada saat gempa di Yogya tahun 2006; rumah sekaligus gudangnya ambruk.
Kondisi keuangan tersedot kebutuhan pribadi, memperbaiki rumah. Pada saat sama pasaran terjadi stagnasi permintaan. Toko- toko di Yogya juga berhenti atau sepi pengunjung, banyak pelanggan jadi telat membayar. Bahkan ada tunggakan mencapai angka 400 juta.
Beruntung sebuah lembaga pembiyaan mau memberinya bantuan. Tahun 2007 Martini kemudian menerima Dji Sam Soe Award, disebutkan sosoknya merupakan salah satu dari pelaku usaha kecil menengah terbaik nasional.
Suaminya sendiri, Nurhadi, ikut membantu menjalankan roda bisnis. Mereka bahu- membahu menjalankan perusahaan bernama Martiati Natural. Selama menjadi istri pria kelahiran Bantul 12 Desember 1969 ini, Martini dikaruniai seorang putri bernama Irma Purwaningsih (21).
Putrinya kerap membantu bisnis bundanya menawarkan produk via internet. Irma sendiri bersekolah di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, Yogyakarta. Dari pantauan akunnya, dia nampak memiliki visi tersendiri membesarkan usaha keluarga, Martini Natural.
Terimakasih telah membaca di Aopok.com semoga bermanfaat, mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.