Birokrasi

Otonomi Daerah untuk Kesejahteraan Rakyat

Siti Nurbaya, Sekretaris Jendral DPD RI

EUFORIA otonomi daerah terus menggelegak. Meskipun muncul wacana moratorium pemekaran daerah otonomi baru, tuntutan masyarakat sulit dibendung.

Desakan dari hampir seluruh nusantara untuk melakukan pemekaran daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, terus mengalir. Bahkan, segala cara dilakukan agar daerah tersebut bisa mendapat status otonomi.

Analisis atas fenomena ini setidaknya muncul dua tesis. Pertama, atas nama kesejahteraan rakyat daerah yang ingin dimekarkan. Dengan pemekaran, daerah itu akan mendapat kucuran dana langsung dari pusat. Juga meluruskan akses langsung dari pusat ke daerah.

Kedua, ada ambisi para petualang politik untuk mendapatkan kekuasaan. Sebab, selain berkuasa itu indah dan gagah, mereka juga bisa tajir dari bagian uang negara.

Fenomena kesejahteraan rakyat dan kekuasaan ini dibahas oleh Siti Nurbaya, sekretaris jenderal Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia, dan disampaikan secara daring kepada wartawan Lampung Post Iskandar Zulkarnain. Berikut petikannya.

Ada istilah raja-raja kecil di daerah otonom. Dengan kekuasaannya, mereka seakan menjadi penguasa absolut. Apa komentar Anda?

Saya tidak termasuk yang memberikan istilah raja kecil kepada bupati/wali kota. Tetapi saya sependapat bahwa pemekaran wilayah sering hanya sebagai alat daerah mendapatkan saluran resmi anggaran dari pusat. Sebab, jalur resmi yang paling pas dan maksimal memang hanya itu. Dengan mekanisme dana transfer pusat kepada daerah otonom membuat daerah itu bisa membangun.

Soal usul pemekaran daerah karena hasrat berkuasa, saya kira bisa dilakukan koreksi. Sebab, dari usulan itu bisa dianalisis nawaitunya. Dan begitu juga Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) di eksekutif.

Dalam hal ini di antara anggota DPOD bisa saling melakukan justifikasi dan koreksi. Oleh karena itu, DPOD harus betul-betul berfungsi dengan baik.

Pengalaman saya saat mendapat tugas di Provinsi Lampung untuk memekarkan Lampung Barat, Tanggamus, Tulangbawang, dan Way Kanan, luar biasa sulitnya. Tetapi alhamdulillah, kami bisa meyakinkan jajaran kementerian anggota DPOD dan fraksi-fraksi di DPR.

Amanat otonomi daerah adalah mendistribusikan kesejahteraan rakyat. Tetapi kenyataannya begini?

Fakta ini memang harus dianalisis kembali. Setelah merekomendasikan, seharusnya DPOD dilakukan evaluasi dan pembinaan terus-menerus terhadap daerah otonom baru. Juga oleh pemda provinsi dan kabuaten/kota induknya.

Seharusnya tidak terjadi daerah otonom baru (DOB) justru kemiskinan rakyat. Sebab, prinsip pemekaran ialah terbentuknya unit manajemen pemerintahan yang lebih efektif karena lebih kecil dan akan lebih intensif.

Unit manajemen ini juga yang akan mengefektifkan eksploitasi sumber daya alam daerah dan sebagainya. Kalau ada DOB yang justru lebih miskin, ini pasti ada yang salah. Dan pasti yang salah bukan pemekarannya, tetapi unsur pengelolaannya.

Sekali lagi itu seharusnya tidak terjadi karena dengan pemekaran akan terpangkas rentang kendali pelayanan. Kalau juga tidak terlayani, sekali lagi itu pasti karena ada aspek manusianya.

Melihat fakta di lapangan, apa pendapat Anda tentang moratorium pemekaran daerah?

Saya dalam posisi prudent ya. Artinya harus sangat hati-hati mengatakan DOB gagal atau predikat miring lainnya. Sebab, itu pengaruhnya sangat besar kepada masyarakat daerah, paling tidak secara psikis.

Saya kira, pemerintah juga belum tegas mengenai kebijakan moratorium, atau setidaknya belum perinci mengenai konsep moratorium tersebut. Yang jelas, moratorium merupakan fungsi atributif pemerintah pada jalur eksekutif, dan bisa dilakukan melalui kendali, kontrol, atau koreksi-koreksi dalam saluran administratif dalam pengusulan DOB. Tetapi UUD dan UU menegaskan posisi politik daerah otonom dan masyarakat berhak untuk mendapatkan hak-hak otonomnya yang diatur antara lain dengan DOB, dsb.

Ada yang menyebut konsep otonomi daerah saat ini sebagai konsep setengah matang. Karena setengah matang ini, banyak kepala daerah terjerumus masuk bui.

Saya kira, harus sangat hati-hati dalam memberikan judge kepada soal penyelewengan anggaran oleh pejabat pemda maupun anggota DPRD. Karena aturan yang dipakai sebagai pijakan sejak dicanangkan otonomi daerah pada 1 Januari 2001, belum semuanya kokoh. Ini mengandung interpretasi dispute dan dalam prakteknya mengandung interpretasi diskresi.

Dalam hal ini harus sangat hati-hati. Sebab, bisa terjadi karena belum clear-nya hal-hal seperti ini, terutama oleh pemerintah nasional, justru daerah menanggung beban.

Tentu saja kita sangat setuju harus tidak ada toleransi terhadap penyimpangan dalam menggunakan anggaran yang dikorupsi, korupsi adalah musuh negara, musuh rakyat.

Tapi, ada juga soal diskresi kepala daerah di sana yang juga harus betul-betul diteliti dengan baik, jangan asal tangkap seseorang.

Konsep otonomi daerah itu kan produk pusat. Daerah hanya menerima. Padahal, pelakunya adalah daerah. Bagaimana Anda menilai konsep ini?

Belajar dari berbagai kondisi sejak 1998, termasuk saya belajar dari konsep desentralisasi di Jepang, indikator keberhasilan desentralisasi adalah hapusnya kesenjangan antarwilayah. Proses menuju semua itu hampir sepenuhnya melibatkan politisi, baik DPRD, DPD, maupun DPR.

Mengapa? Karena prinsip keberhasilan otonomi daerah ialah bagaimana arus keuangan dan arus personel berlangsung dua arah antara nasional dan daerah dengan baik, dalam suatu aturan dan tanpa hambatan.

Jadi saya kira, memang pemerintah yang mengambil inisiatif perubahan UU 32/2004, harus betul-betul punya konsep desain operasinal otonomi daerah dan keterlibatan politisi. Rasanya hampir tidak mungkin melaksanakan otonomi daerah tanpa keterlibatan politisi, misalnya DPRD.

Banyak daerah otonom membuat perda sesuai keinginan penguasa. Setelah dikaji, ternyata bertentangan dengan UU di atasnya. Apa pendapat Anda?

Saya yakin, setiap orang membuat peraturan pasti mempertimbangkan peraturan di atasnya. Itu bisa kita lihat dari konsideransnya. Makanya, pembatalan juga tidak bisa main-main.

Menteri dalam negeri atau menteri keuangan, juga harus dicek betul per kalimat yang mana yang tidak tepat. Pengalaman saya sebagai sekjen Kemendagri, ada fase-fase asistensi dan koreksi dari perda yang mungkin hanya keliru satu kalimat karena mengandung interpretasi lain. Jadi, belum tentu salah fatal.

Idealnya, jika Pemerintah Pusat keberatan kepada aturan daerah, harus lewat Mahkamah Agung melalui judicial review. Begitupun sebaliknya bila pemda keberatan dengan aturan menteri, misalnya harus diproses melalui judicial review di Mahkamah Agung. Kecuali, dalam UUD atau UU disebutkan bahwa harus ada mengenai perda tertentu yang pada saat perancangannya harus dilakukan dengan berkonsultasi kepada pemerintah nasional atau disebut judicial preview. n

BIODATA
Nama : Siti Nurbaya
Lahir : Jakarta, 28 Agustus 1956
Jabatan : Sekjen DPD

Pendidikan :
– SD Muhammadiyah III Matraman, Jakarta (1968)
– SMPN 50 Jakarta (1971)
– SMAN 8 Bukit Duri, Jakarta (1974)
– S-1 Institut Pertanian Bogor (1979)
– S-2 dan S-3 IPB dan Siegen University Jerman (1998)

Sumber: Wawancara, Lampung Post, Minggu, 22 Desember 2012


Terimakasih telah membaca di Aopok.com semoga bermanfaat, mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top