Atuk

Pak Atuk, Mas Bardjo

Oleh Iswadi Pratama 

Subardjo, Potret; 192 x 288 cm, oil on canvas, 2008.

BELUM genap 3 bulan, tahun ini Lampung telah kehilangan dua orang Senimannya: Atuk dan Subardjo. Dua nama yang biasa saya panggil Pak Atuk, wafat beberapa pekan lalu, dan Mas Bardjo, wafat hari ini, 15 November 2015. Keduanya wafat karena sakit menahun, Pak Atuk sakit jantung dan Mas Bardjo komplikasi penyakit dalam.

Saya sedang di Makassar saat ini, di tengah hibuk festival teater mahasiswa Indonesia. Saya menepi sebentar dan mendoakan arwah Mas Bardjo. Setelah itu, ingatan saya melayang kepada sosok keduanya yang telah saya kenal sejak saya masih di bangku SMP, 27 tahun lalu. Apa yang tidak berubah pada keduanya dalam kurun 27 tahun itu adalah bahwa mereka tetap menjadi Pelukis–dalam pengertian yang sebenarnya. Mereka berkarya, dan karya mereka jarang laku. Dan mereka tidak pernah berpikir untuk beralih profesi. Memiliki isteri dan anak anak yang semuanya bersekolah dan mampu hidup sebagaimana layaknya setiap orang hidup. Meski tidak berlebih. Keduanya juga tak pernah berkurang sedikit pun antusiasmenya pada seni, tidak cuma seni rupa. Pak atuk dan Mas Bardjo adalah pembaca sastra yang baik, penikmat film yang punya selera, penikmat teater yang apresiatif, juga tari dan musik. Keduanya seniman tulen yang asyik diajak berdiskusi, bahkan seringkali cukup tekun berdebat. Tapi keduanya selalu punya maaf, dan tak sungkan meminta maaf.

Saya amat berduka. Tapi saya tak ingin bersedih. Saya ingin mengenang keduanya dengan bangga. Dengan rasa hormat yang pantas. Bagi saya, mereka adalah lambang dari kesetiaan, ketekunan, ketahanan dan kesabaran menghadapi dan melakoni seni, dunia yang hingga kini tak menjanjikan apa apa–jika yang dicari adalah kelimpahan materi. Mereka telah tunai kini. Dan semoga Tuhan memasukkan mereka ke dalam golongan orang orang yang dicintai–sebab mereka toh telah sedemikian lama bersusah payah mengejar dan mencoba memahami apa yang indah dalam seni, melalui isyarat, melalui gerak hati yang sejatinya bersumber dari Sang Maha Indah. Paling tidak, keduanya telah memberikan kebahagiaan bagi kita melalui sepasang mata, saat memandang lukisan lukisan mereka–yang belum pernah kita beli, dan tak pernah pula mereka meminta bayaran pada kita atas keindahan yang kita nikmati dalam kanvas kanvas mereka. Itulah di antara secuil kebaikan yang patut selalu kita kenang. Secuil kebaikan yang telah mereka berikan dengan cuma cuma, sesuatu yang bisa kekal seperti semangat keduanya, bahkan setelah karya karya mereka tak ada. Selamat bersanding dengan Sang Maha Indah Mas Bardjo, Pak Atuk. Takzim kami untukmu.

Sumber:
Facebook Iswadi Pratama, Minggu, 15 November 2015


Terimakasih telah membaca di Aopok.com semoga bermanfaat, mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top