Biografi Pengusaha Odi Aninditio
Pengusaha Odi Anindito pernah merasa putus asa. Sang pemilik Coffee Toffee Indonesia juga pernah mengalami kegagalan. Suami dari pengusaha cantik Rakhmad Sinserja, yang keduanya rsama- sama mendirikan bisnis sendiri. Mereka bersama tetap semangat walau perasaan putus asa pernah terasa.
Mengambil sudut pandang Odi Aninditio sebagai wirausaha, setelah menulis kisah dari Rakhmad Sinserja. Melalui sudut pandang pria perebut hati wanita cantik berhijab ini. Dia merupakan suami Rakhma Sinseria, pengusaha muda yang punya banyak usaha, dan sukses setelah menikah.
Dia tercatat mendirikan aneka usaha. Odi adalah pemilik Solusi Intermedia, pendiri dan Direktur Manajer Coffee Toffee Indonesia, jadi salah satu pendiri bisnis donat dan kafe kopi bernama Double Dipp, pendiri sekaligus pemilik 8 Grams Technology, dan pendiri dan pemilik POPLine Productivity.
Odi merupakan contoh entrepreneur muda idaman. Kisah suksesnya bukan sekejap dan mau sukses bersama pasangan. Butuh waktu lama hingga Odi sampai di posisi sekarang ini. Ia beruntung karena bertemu sosok istri yang selalu mendukung.
Masa Remaja Pengusaha
“Ibarat ABG, waktu itu kami seperti sedang mencari jati diri,” ungkap Ria.
Gerainya atau warung kopinya dipenuhi pelajar dan mahasiswa. Bermodal ilmu pengetahuan tentang akutansi ternyata tidak cukup. Mereka terus mencoba walau kegagalan selalu ada. Keduanya lalu memilij fokus menyuguhkan kopi lokal.
Tapi bukan seperti warung kopi kamu bisa temui dijalanan loh. Mereka menawarkan kopi racikan bukan kemasan seperti umum. Ia mengkobinasikan modern dan tradisional. Satu model bisnis kafe jalanan khas Indonesia dengan cita rasa Internasional.
Pengusaha Odi Aninditio, asli Surabaya bernama khas Jawa, yang terlahir dari keluarga biasa saja. Ia memiliki latar pendidikan yang tidak berlebihan; berprestasi tapi wajar. Bukanlah lulusan luar negeri seperti pengusaha- pengusaha sukses atau yang orang pikirkan.
Dia pernah besekolah di salah satu SLTP favorit Surabaya. Odi merupakan alumni SMP 6 Surabaya. Ketika remaja dia selalu masuk tiga besar di kelasnya. Karena prestasi akademis itulah Odi sering dimasukan ke aneka lomba akademis antar sekolah.
Pendidikan baik membuatnya lulus menjadi salah satu dari 10 lulusan terbaik. Tapi menjadi sosok anak pintar ternyata tidak menantangnya. Selepas lulus, ia justru memilih sekolah favorit tapi terkenal badungnya, yakni di SMA 2.
“Saya memang memilih masuk di sini karena saya menghindari disebut anak- anak pintar,” terang Odi. Di sanalah nila- nilai akademisnya berangsur menurun. Karena di sepanjang perjalanan, ia menemukan hal- hal baru; lebih menarik dari belajar.
Ia banyak menghabiskan waktu bersama teman, mengikuti aneka ektra- kulikuler, akhirnya menjadi sering bolos sekolah. Semakin jatuhlah nilai- nilai akedemisnya karena mulai jatuh cinta. Ya betul sekali, semenjak dirinya mengenal namanya wanita, Odi justru menjadi malas- malasan.
Fokusnya menjadi terbagi- bagi banyak. “Karena saya sudah pacaran sejak SMA, nilai pelajaran saya anjlok luar biasa,” ungkapnya.
Tapi akunya tak begitu jelek- jelek amat sih. Bagi ukuran satu kelas itu bisa dibilang tidak terlalu buruk. Dia cukup berbangga buat pelajaran pokok, seperti Matematika dan Bahasa Inggris yang patut dibanggakan karena sangat menonjol
Jikalau ada ujian dua mata pelajaran tersebut akan berbeda. Jika nantinya teman- temannya sibuk fokus di kertas ujian, ia sudah asyik bersantai, bahkan kertasnya sudah pergi kesana- kemari.
“Jika ada bahasa Inggris hampir dapat dipastikan semua teman- teman satu kelas akan berpusat pada satu lembar kertas ujian saya dan setengah waktu dari ujian tersebut, lembar ujian saya sudah berjalan- jalan dari ujung- ke ujung,” pungkasnya, dalam sebuah artikel di Majalahhwk.com.
Memilih Berwirausaha
Pengusaha muda 28 tahun ini ternyata punya jiwa kompetisi. Sayang jiwa entrepeneurship tersebut muncul belakangan hari. Itu baru muncul justru ketika dirinya ingin hidup sesuai keinginan. Kala itu, ia menemukan fakta, bahwa nilai ujiannya itu jelek mungkin tidak sangat jelek.
Tapi cukup membuatnya terhenyak hingga nampak bayangan buruk. Sikapnya menginginkan hidup agar tak mau disebut anak pintar; ternyata beruntut jatuhnya nilai. Keinginan kembali memperbaiki diri pada jalur seharusnya muncul ketika mendapat nilai rata- rata 6, tetapi tidak.
“Saat itu nilai kelulusan saya 46 dari 7 mata pelajaran. Rata- ratanya berarti cuma 6, sementara teman- teman saya memiliki nilai kelulusan diatas 50, atau rata- rata 8,” kenangnya.
Dia bertekat memberbaiki diri. Terutama ketika dia menjalankan ujian memasuki jenjang universitas, “Saya benar- benar berkonsentrasi pada ujian penerimaan universitas,” pungkas Odi. Dan, memang waktu tak dibuang- buangnya agar bisa masuk ke universitas.
Ingin membuktikan diri akhirnya dipilihlah universitas terbaik. Saat itu, Obi memilih membidik jurusan paling sulit di univeritas bergengsi. Yaitu mencoba masuk Institut 10 November Surabaya atau ITS, atau orang- orang Surabaya menyebutnya kepanjangan dari Institut Teknologi Surabaya.
Jurusan disana yang memiliki rating paling tinggi ialah jurusan Informatika. Dia memperhitungkan pula aspek masa depan. Jadi bukanlah sekedar bertaruh buat omong kosong tetapi direncanakan.
“Saya buktikan, saya bisa masuk di Jurusan Teknik Informatika, ITS,” ujar Odi.
Singkat ceritanya dia berhasil, bahkan bisa beradaptasi cepat di lingkungan baru. Dia menjelaskan apa- apa yang dipelajarinya disana adalah tentang logika. Di universitas, ia kembali ke masa- masa SMA, dimana ia tak begitu menonjol kembali dalam hal akademis.
Mungkin faktor kurang ahli menjadi masalahnya. Dan, Odi mengakuinya kepada pewarta masalahnya ada di kuliah seperti programming. Baik dosen dan teman- teman melihat ini kelemahan Odi ketika kuliah.
Namun, Odi santai saja, dianggapnya bukanlah hal prinsipal. Hingga dia sadar bahwa ada sesuatu hal ketika berbicara tentang perlakukan di kelas. Bukan soal sosial ditiap harinya, tapi menyangkut kegiatan di laboratorium, ketika ada kelas praktik; Odi selalu menjadi pilihan terakhir.
Dia bahkan seolah ditolak teman- teman sekelasnya ketika masa praktikum. Tidak ada setupun rela dimasukinya sebagai anggota tim. Inilah hal membuatnya sakit hati; tersurutlah perasaan ketika masa sekolah menengah!
Dia tertantang membuat kelompok sendiri. Akan tetapi tidak ada yang mau lagi- lagi, hingga, akhirnya cuma dia sendiri anggotanya dalam satu tim. Yang terjadi justru dirinya mendapatkan nilai A ketika selesai kelas praktikum baru. Dia sadar bahwa dia suka pembuktian diri lebih baik lagi.
Namun, justru adanya ketika dirinya merasa dia disepelekan. Jikalau hari- hari biasanya, Odi malah menjadi sosok mudah bergaul, dia sendiri tak mau ambil pusing soal “ribetnya” kampus. Itu juga soal bagaimana ia menyelesaikan tugas akhirnya.
Para dosen memandangnya tak mampu soal mengerjakan programming. Merasa tertantang, Odi malah masuk mata kuliah sulit tersebut sebagai utama. Dia bahkan memilih dosen pembimbing pun dipilihnya “yang killer”.
Ketika itu, ketika mahasiswa lain membutuhkan waktu 3 tahun untuk lulus, Odi justru membuktikan mampu menyelesaikan itu dalam waktu cuma 1 tahun saja. Ditengah kuliah panjangnya, kurang- lebih lima tahun, Odi menyempatkan diri mengasah ilmu lain. Ia sempat mengajukan satu tahun cuti.
Cuma buat berkuliah pendek di Australia, mengambil jurusan Small Business dan International Business Marketing. Dalam tempo satu tahun tersebut maka pandangannya berubah 180 derajat. Dia melihat sisi lain wirausaha.
Utamanya wawasan tentang menjalankan bisnis serta pandangan masa kini atas kewirausahaan. Menurutnya paling menonjol dimasa itu, ketika mengambil kuliah pendek, adalah Odi mendapatkan apa yang disebut self- confident.
Terutama, selepas dia mereguk gelar Diploma dari Australia, membuatnya lebih percaya diri terutama dalam memulai bisnis.
“Kepercayaan diri saya melambung setelah saya menyelesaikan diploma saya, dan ini dapat dilihat dari orang- orang terdekat saya, mengenai bagaimana saya berbicara dan bagaimana saya mengemukakan pendapat saya,” terganya.
Disisi lain, Odi sempatkan belajar mengenai kopi ketika menyelesaikan diploma. Dia mulai belajar tentang nilai eksotisnya -menarik minatnya mendalaminya. Odi benar- benar buta soal kopi. Cumalah hasrat ingin tau mendorongnya masuk lebih dalam.
Berbisnis kopi
Unik jikalau ditanya mau besarnya menjadi apa. Karena orang tuanya sosok pengusaha. Ini membawa sosok Odi menjadi tidak memikirkan “kerja apa” lebih ke apa yang ia bisa kerjakan sekarang. Bahkan ia mengaku tak punya bayangan mau bekerja dimana selepas kuliah.
Dia cuma maunya berusaha mandiri saja.
“Satu hal yang pasti dalam hidup saya, bahwa saya akan berusaha untuk mandiri, dengan membangun dan membesarkan bisnis saya. Sebuah bisnis yang saya mau bangun mulai dari awal dan akan berkembang jadi satu perusahaan (saya harapkan) yang disegani di negeri ini,” jelasnya lagi.
Soal bisnis kopi, semuanya dimulai karena kegemarannya menyeduh kopi instan. Dia bahkan bisa membuat kopi racikan bermodal resep bungkusnya loh. Selain itu jikalau kurang mantap, terkadang, Odi akan jalan- jalan ke berbagai kafe.
Setau Odi bahwa kopi- kopi seduhan itu apapapun. Baik di kafe- kafe ataupun tidak semuanya berasal dari kopi sasetan. Awalnya, dia sendiri tak sadar bahwa kopi berasal dari sebuah biji, yang melalui serangkaian proses pemasakan.
Mulainya ia sadar justru ketika masuk kuliah diploma di Australia. Tahun 2004, ketika itu ia mengambil satu program diploma. Dimana ia cuma berkuliah 2 kali dalam seminggu. Itupun cuma berisi kuliah tak lebih dari 4 jam tiap sesi.
Odi lantas berpikir bagaimana kalau mencari tantangan baru. Hingga seorang teman menawari dia pekerjaan di restoran pizza. Gayung bersambut, diterimanya pekerjaan tersebut digunakannya lagi buat belajar kebudayaan barat.
Hingga suatu hari, seorang teman dari teman yang menawarinya pekerjaan datang. Ia menawari pekerjaan sebagai “bar helper”, tempat Coffee Shop dimana dirinya bekerja. Bekerja disana sekitar lebih dari 5 bulan, 4 hari dalam seminggu, setidaknya ada 5 jam per- hari.
Sejak disina, pengalaman mengajarinya bahwa kopi tak terbuat dari kopi sesetan. Tapi merupakan pengalaman panjang memproses aneka jenis biji kopi. Dia benar- benar bertanya- tanya bagaimana caranya.
“Saya belajar mengenai bagaimana cara persiapan yang benar sebuah minuman kopi, mulai dari biji kopi, penggilingan sampai dengan penyeduhan,” Odi melanjutkan.
Sepulang dari Australia, Odi punya misi khusus, terutama ketika menyadari Indonesia termasuk tiga besar penghasil biji kopi dunia. Sayangnya justru orang belajar yang membuat kopi berasal dari luar negeri. Dia kemudian mengerjakan ide bisnis Coffee Toffee bersama- sama sang istri.
Tahun 2006, Odi bermodal 5 juta rupiah, dimana disaat itu angka tersebut bisa dibilang kecil. Bermodal uang segitu dimulailah bisnis sederhana bermodal gerobak dorong. Tidak cuma belajar dari pengalaman di Negara Kanguru.
Odi bermodal informasi dari teman- teman, saudara, bahkan sampai mencari di Internet. Konsep bisnisnya ialah kopi khas Indonesia bercitarasa kedai modern. Ia menawarkan kopi khas Indonesia. Mulai dari kopi Arabica dan Robusta diraciknya on the spot.
Idenya masih melalang buana lepas. Dia masih melihat model bisnis seperti dirinya masih sepi. Kebanyakan kita ditawari kopi racikan khas kafe. Disaat itu, ia masih merasa adanya pasar bisnis masih terbuka luas bagi mereka.
Pemilik Coffee Toffee Pernah Putus Asa
Masalah pun datang, ternyata ketika dia menjalankan bisnis Coffee Toffee, Odi telah punya aneka usaha “sambilan”. Mulai dari bisnis clothing, tambak ikan, kayu, dan lain- lain. Itu dikerjakan benar- benar berbasiskan passion kewirausahaan tanpa embel harus untung.
“Saya langsung buka bisnis baru dan ketika punya dana lalu buka lagi dan buka lagi dan ini berjalan begitu terus. Nah saat itu salah satu usaha saya mengalami yang tidak baik dan ini berpengaruh kepada sembilan perusahaan lain,” tuturnya.
Hingg dia teretipu patner bisnis sampai merembet ke bisnis lain. Bukan hal mengejutkan ketika mungkin kamu memasuki fase ini. Ketika bisnis kamu telah berkembang super pesat, dan tiba- tiba semua hilang berturut- turut.
Bahkan ia mulai bertanya eksistensi diri, seorang pengusaha apakah dirinya layak. Sambil melihat ke cermin, pikiran- pikiran liar menyeruak di benaknya, “apakah saya ditakdirkan untuk menjadi orang miskin. Apakah wajah saya memperlihatkan sebagai orang miskin?”
Hingga, pikiran positif tumbuh, hingga dalam benarknya berpikir, “tidak, saya tidak dilahirkan sebagai orang miskin. Karena pada dasarnya tidak ada orang miskin selama masih ingin berusaha. Itu bekal jawaban yang dibutuhkan Odi untuk bangkit kembali.
Hingga 2009, seorang investor menghampirinya, dan menawarkan sebuah perjanjian bisnis investasi super besar. Bayangkan uang Rp.1,5 miliar telah ada didepan mata sebagai bentuk investasi. Dana itu rencananya buat mengembangkan Coffee Toffee.
Konsep kedai miliknya harus dirubah 180%, memakai konsep dine- in, atau lebih dikenalnya adalah konsep coffee shop. Fokus bisnis menyasar pasaran anak muda. Odi menyetujui konsep tersebut dan bersama- sama membangun bisnis kembali.
Konsep coffee shop menjadi lebih nyaman. Dimana orang- orang akan bisa masuk bercengkrama didalamnya. Harga jualnnya pun melonjak, itu seiring dengan kualitas kopi dan kepercayaan dari masyarakat, yakni per- gelasnya mencapai Rp.35.000- Rp.50.000.
Coffee Toffee mampu memproduksi biji kopi sendiri. Bermodal hubungan baik dengan suplier biji kopi lokal. Itu sudah juga diperhitungkan biaya produksi. Odi ingin kopinya menyasar kalangan menangah- bawah, tetapi tetap memiliki kesan elegan- berkualitas seperti kedai kopi asal Amerika.
Penjualan Coffee Toffee sendiri menembus angka 700 ribu gelas kopi. Dimana telah tersebar ke 180 gerai berbeda di penjuru Indonesia. Soal pengunjung, Odi menjelaskan, cabang Kalimantan menjadi yang terlaris.
Twitter: @odianindito
Terimakasih telah membaca di Aopok.com semoga bermanfaat, mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.