Pers

Raden Aria Taher Tjindarbumi (1902–1978): Sang Pelaku di ‘Ruang Dalam’ Kebangsaan

DALAM jejak perjalanan nasionalisme Indonesia, Raden Aria Taher Tjindarbumi agaknya satu-satunya putra Lampung yang amat dekat dengan pusat pusaran itu (nasionalisme). Sebagai jurnalis, jiwa kebangsaannya terpatri dan tidak tergoyahkan. Baginya jurnalisme adalah alat perjuangan melawan kesewenang-wenangan kolonial.

Selain karena sukmanya yang telah terbakar api nasionalisme, anak keluarga Demang di Telukbetung ini, memang rapat bergaul dengan tokoh-tokoh utama kebangsaan. Bahkan, ia juga menempuh pendidikan sama seperti dr. Sutomo, sang deklarator Boedi Oetomo (BO).

Mereka menempuh pendidikan di Sekolah Dokter Bumiputera (STOVIA = School tot Opleiding van Indische Artsen) di Betawi (kini Jakarta), meskipun dari generasi berbeda (Sutomo masuk STOVIA pada 1903 dan Tjindarbumi pada 1918). Keduanya pun sama-sama menempuh lapangan jurnalistik.

Bahkan, karena kedekatannya, Soetomo secara khusus meminta Tjindarbumi menggantikan posisinya sebagai pemimpin redaksi di harian Suara Rakyat Indonesia di Surabaya. Pada 1931 ketika koran itu menghentikan penerbitannya, putra Lampung ini memimpin koran Soeara Oemoem.

Seperti dikutip buku Titian Pers Lampung (PWI Cabang Lampung: 1996), pendidikan Tjindarbumi di STOVIA hanya sampai di kelas V. Ia lalu pindah ke Surabaya dan kembali masuk sekolah kedokteran di Nederlands Indische Artsen School (NIAS). Tapi, di sini ia juga tak kerasan. Ia kemudian pindah lagi ke Jakarta studi ilmu hukum di Fakultas Hukum (Rechts Hogeschool). Namun, ia sendiri tak bekerja di lapangan hukum.

Suami Raden Ayu Siti Soemeni ini, memulai bekerja di Bagian Tata Usaha surat kabar De Indische Courant di bawah pimpinan H. Delonye yang terbit di Surabaya. Kemudian ia pindah ke bagian redaksi sebagai directeur hoofd-redacteur.

Ia mengawali karier jurnalistiknya dengan menjadi wartawan pembantu. Ia mengirim berita untuk harian Kemajuan Hindia di bawah pimpinan Raden Pandji Soeroso. Karena tulisannya yang tajam, ia pun menarik hati dr. Sutomo. Deklarator BO ini meminta Tjindarbumi sebagai pemimpin redaksi Suara Rakyat Indonesia menggantikan posisinya dan kemudian Soeara Oemoem.

Pada waktu itulah, 1933, terjadi pemberontakan yang amat terkenal, terjadi di kapal perang De Seven Provincien yang tengah berlabuh di Ole-le. Para awak kapal merebut berbagai persenjataan yang ada. Berita ini memang sangat mengejutkan Pemerintah Belanda, sangat menohok dan memalukan wibawa pemerintah.

Melalui koran yang ia pimpin, Tjindarbumi menulis tajuk rencana yang mengecam pemerintahan Belanda. “Bagi negeri-negeri yang sopan, kejadian begini ialah tidak lain daripada timbulnya anarchie, tuchteloosheid, keliaran, berkocar-kacir, dan…tidak ada kekuasaaan lagi. Pembaca pikir, 3.000 minder personeel (pegawai rencah) mogok. Angkatan Laut Hindia Belanda akan menjadi kocar-kacir,” tulisnya.

Dengan tajam Tjindarbumi juga mengkritik kantor berita pemerintah, Aneta, yang menyalahkan orang-orang Indonesia dalam pemberontakan di kapal perang itu. Sudah bisa diduga, itu semua membuat kuping penjajah marah. Ia pun menjadi orang yang masuk dalam daftar pengawasan Belanda.

Wartawan-pemberani itu akhirnya ditangkap. Ia dijemput paksa dari rumahnya di Majangstraat (Ketabang). Di tengah malam ia dibawa ke Hoofdbureau (Komdak), diinterograsi selama tiga hari, kemudian dijebloskan ke penjara di Kalisosok.

Putusan pengadilan membuat Taher Tjindarbumi naik banding, lalu seorang Belanda bertanya kepadanya, “Bent Uniet bang?”

Lalu dijawab Tjindarbumi, “Bang? Waaroom moet ik bang zijn? Ik strijd voor een goede zaak (Takut? Mengapa saya harus takut? Saya berjuang untuk sesuatu yang baik).”

Setelah keputusan jatuh, rambut sang jurnalis pemberani ini dipangkas habis. Ia pun berpakaian sebagai orang rantai, orang hukuman, di penjara Kalisosok, Surabaya. Di sini ia bertemu Mohammad Yamin dan dr. J.B. Sitanala. Tjindarbumi dikirim ke penjara Sukamiskin bersama Ir. Soekarno dan kemudian sama-sama diasing ke Ende. Ikut juga tokoh lain seperti Joesoef Jahja (wartawan Gledek) dan Mr. Amir Sjarifuddin. Selama masa pembuangan, ia dijatuhi hukuman 20 bulan penjara.

Tjindarbumi juga sebagai satu dari sedikit intelektual Indonesia yang ikut secara aktif dalam polemik kebudayaan pada 1930-an yang amat bersejarah yang memunculkan “bintang” sastrawan Sutan Takdir Alisjahbana. Takdir menganjurkan agar arah kebudayaan Indonesia yang baru berkiblat ke Barat karena terbukti mampu membawa Barat lebih maju. Selain Cindarbumi yang terlibat aktif dalam polemik menanggapi Takdir adalah Adinegoro, dr. M. Amir, Ki Hajar Dewantara, Purbacaraka, Sanusi Pane, dan dr. Sutomo.

Di masa pendudukan NICA pada 1948, ia juga kembali menjalani kehidupan orang rantai di Rumah Tahanan Glodok (sekarang Glodok Plaza, Jakarta), karena dicurigai masih aktif sebagai wartawan Republik. Pada 1950 ia pun pulang ke kampung halamannya dengan memimpin PT Lampung Sulida yang bergerak di bidang pemintalan tali manila di Natar, Lampung Selatan.

Atas jasa-jasanya terhadap negara, pada 25 Juni 1970, pejuang pers kelahiran Gunungsugih, Lampung Tengah, 28 November 1902, menerima anugerah Perintis Kemerdekaan dan gelar Perintis Pers Indonesia pada 31 Maret 1970 dari Pemerintah RI. Tokoh pers ini wafat pada 1978.

PWI Cabang Lampung juga mengabadikan nama Tjindarbumi (Penghargaan Tjindarbumi) untuk memberikan penghargaan kepada mereka yang berjasa membangun Lampung. Penghargaan ini diberikan setiap dua tahun sekali. n

BIODATA

Nama: Raden Aria Taher Tjindarboemi
Lahir: Gunungsugih, 28 November 1902
Wafat: Lampung, 1978
Anak ke: Dua
Nama ayah: Abdurachman Gelar Batin Tjindarboemi
Nama istri: Raden Ayu Siti Soemeni

Pendidikan:
1. Pendidikan Sekolah Melayu, Tanjungkarang
2. Europese Lagere Scool (ELS), 1912
3. Holandsch Indlansce School (HIS)
4. School tot Opleiding van Indische Artsen/STOVIA (Sekolah Dokter) di Jakarta (Batavia), 1918
5. Sekolah Kedokteran Nederlands Indische Artsen School (NIAS)
6. Fakultas Hukum (Rechts Hogeschool), Jakarta

Pekerjaan:
1. Tata Usaha Surat Kabar De Linsche Courant
2. Bagian Redaksi sebagai Directeur Hoofd-Redacteur Surat Kabar De Linsche Courant
3. Wartawan Pembantu Harian Kemajuan Hindia
4. Pemimpin Redaksi Suara Rakyat Indonesia
5. Pemimpin Redaksi Soeara Oemoem (1931)
6. Pimpinan PT Lampung Sulida (pabrik pemintalan tali manila di Natar), 1950–1959

Penghargaan:
1. Perintis Kemerdekaan (25 Juni 1970)
2. Perintis Pers Indonesi (31 Maret 1970)
3. Penghargaan dari Yayasan Lampung Maju (Penghargan pada Taher Tjindarboemi atas jasa-jasanya menegakkan kemerdekaan RI tanpa mengenal kompromi)

Sumber:  
Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post. Hlm. 12-15.


Terimakasih telah membaca di Aopok.com semoga bermanfaat, mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top