Budaya

Untuk Lampung dari Seorang Odapus

Oleh Rikman Rasyid

Karina Lin

SEBAGAI seorang odapus (penyandang lupus), Karina Eka Dewi S
(34) tetap semangat menjalani hidup. Wanita yang akrab dipanggil Karina Lin itu
berpikir bahwa melawan lupus adalah dengan semangat dan hal positif. Ia tak henti
berharap bahwa ke depan, bisa membuat website khusus untuk berbagi persoalan
mengenai penyakit lupus.

Karina Lin kaget bukan kepalang ketika dirinya divonis
positif SLE (systemic lupus erythematosus), atau penyakit lupus oleh RS Kramat
128, Jakarta Pusat, pada akhir Oktober 2016 lalu.

Tapi, tak ada kata menyerahkan dalam kamus Karin, begitu ia
dipanggil. Bukti dari kegigihannya adalah kelahiran sebuah buku berjudul Lampungisme: Sosiokultur, Alam, dan
Infrastur Bumi Ruwa Jurai dari tangannya. “Rasanya mau menangis. Bukan
karena sedih, melainkan karena rasa bahagia dan terharu. Inilah buku pertama
saya,” kata Karina mengenai buku yang diterbitkan Pustaka LaBRAK pada
Oktober ini.

Pernah bekerja sebagai wartawan Harian Radar Lampung yang tergabung dalam Jawa Pos Group (2010-2011).
Bergabungnya penulis dengan media itu sendiri berawal dari opini yang pernah
dipublikasikan oleh harian tersebut. Kemudian Juni 2013 menjadi wartawan di
Harian Lampung Newspaper (Jawa Pos Group). Saat ini bekerja sebagai jurnalis di
media online duajurai.co (sejak September 2015), penulis lepas (freelance
writer) di surat kabar lokal dan nasional, dan tercatat sebagai anggota Aliansi
Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung.

Salah satu esainya dimuat dalam buku mengenai lembaga
kesenian di Lampung yang berjudul Rumah
Berwarna Kunyit: Polemik Kesenian, Kesenimanan dan Lembaga Seni (di) Lampung
(2015).

Buku Lampungisme: Sosiokultur, Alam, dan Infrastruktur Bumi Ruwa Jurai karya Karina Lin,

Cita-cita Lama

Dia mengaku telah lama mencita-citakan menjadi seorang yang
bergelut dengan pena dan kata memang telah lama saya cita-citakan. “Sejak
kuliah, ah tidak – sejak SMP – sepertinya. Saya agak-agak lupa, saking lamanya.
Tapi, waktu itu yang terbersit harapan menjadi penulis novel sastra. Waktu itu
dia  gandrung membaca buku-buku novel,
baik bergenre sastra maupun pop.

“Olenka karya Budi Darma, Kembang Jepun karya Remy
Sylado, Saman karya Ayu Utami, Sekuntum Nozomi karya Marga T, trilogi Jendela
Atap Pintu karya Fira Basuki. Tak terkecuali cerpen-cerpen di berbagai media
cetak yang biasa menguasai koran hari Minggu. Semua saya lahap,” ujarnya.

Alumnus Pendidikan Sejarah Universitas Lampung (Unila)
terpesona pada alur ceritanya yang terkadang tak bisa ditebak dan ajaib. Ia
terbuai oleh magis dan indahnya kata-kata dalam karya tersebut. Tak heran ia
terpengaruh dan berharap menjadi seperti mereka (suatu saat nanti).

Faktanya, sebegitu berharapnya dia bisa menulis novel yang
semenjejak di hati ala Budi Darma, seindah bunga ala Remy Sylado, semengharu
biru ala Marga T, dan sebagainya – ternyata nasib membawanya ke yang lain.
“Saya berhasil menerbitkan buku. Nonsastra, nonfiksi, dan mengenai
Lampung.”

Meskipun demikian, dia bersyukur. Sebab, prosesnya tak
mudah, meski isi buku ini hanya berupa kumpulan tulisan yakni opini yang ia
tulis dan terbit kurun waktu 2013-2017. Tetap ada proses panjang yang harus
dilalui untuk menjadikannya sebuah buku.

Sebenarnya, kata dia, ide menerbitkan buku muncul kala ia
menjalani rawat jalan pascaopname lupus. Lupus (Systemic Lupus
Erythematosus/SLE) adalah salah satu penyakit autoimun kronis yang bisa
menyerang berbagai organ tubuh: kulit, persendian, darah hingga ginjal, otal,
dan organ dalam lainnya.

Nah, sekira dimulai bulan Maret 2017– saat sedang di
Jakarta, menjalani recovery alias pemulihan tadi dan masih belum mantap berdiri
(sendiri sebagai efek cukup lama berbaring selama opname) plus berjalan –
merasakan sekali betapa down-nya, serasa dunia begitu jauh. Saya butuh lipur
lara yang dapat membangkitkan lagi semangat hidup.

Awalnya terpikir olehnya untuk menulis buku. Lalu, ia teringat
pada opini-opini yang telah saya tulis selama ini. “Ah, mengapa tidak saya
bundel saja menjadi sebuah buku? Akhirnya, saya mulai bersemangat lagi,
menggapai asa. Saya kumpulkan, saya baca-baca ulang dan hasilnya banyak dari
opini saya yang membahas soal Lampung. Akhirnya saya kategorisasikan isi buku
mengenai hal ihwal Lampung. Lalu saya tambah 2 tulisan baru sehingga jadi 21
artikel dan ditambah lagi lima tulisan oleh editor, Udo Karzi menjadi 26 tulisan.” 

Semua tentang Lampung

Tulisan-tulisannya itu bercerita mengenai Lampung dari
berbagai perspektif dan semuanya merupakan spesial bagi saya karena saya
menulisnya dengan rasa cinta. Seperti yang dikatakan oleh penulis kenamaan
Carmel Bird; writing with emotion – hal inilah yang dia tekankan ketika
menulis. Adakalanya dia diliputi kekecewaan terhadap para pemimpin daerah ini,
ada kalanya rasa prihatin hinggap di dadanya, ada rasa kebanggaan, semua
mewarnai proses penulisan dari semua artikel yang terangkum dalam buku ini.

Dari sekian banyak, Karin mengaku ada dua judul tulisan yang
sangat spesial buatnya. Pertama, yang berjudul Saburai Menatap Ke Depan. Isi
dari opini ini adalah mengenai kritik saya terhadap rencana Pemerintah Provinsi
(Pemprov) Lampung yang kala di bulan Maret 2017 menggelontorkan ide merenovasi
Gedung Olahraga (GOR) Saburai di Enggal, Bandar Lampung. Kemudian dibangun kembali
dengan ditambah bangunan-bangunan baru seperti convention center dan hotel.

Secara pribadi, dia tak setuju karena ada nilai yang tiada
bandingnya. Apa yang menjadikannya spesial karena artikel inilah yang pertama
saya tulis setelah rehat cukup lama di “hotel putih”. “Saya masih ingat
betapa sulitnya menyalurkan ide yang telah terkumpul di kepala ke dalam bentuk
goresan kata dan kalimat. Tangan saya menggegam, tatapi kaku saat menggoreskan
huruf per huruf dikertas buku. Alhasil tulisan saya bengkok-bengkok bagaikan
cacing ngulet,” ujarnya.

Tak sampai di situ, kata dia, mengetik dan mengirim
email-nya pun menggunakan Iphone. “Saya punya laptop, tetapi saat itu masih
tidak tahu di mana charger-nya. Pegal banget menundukkan kepala berjam-jam
untuk mengetik artikel yang panjangnya bisa 3-4 halaman A4 itu.”

Lalu kedua, artikel.  Lupus, dan Lampung. Opini ini
merupakan kritik dan saran serta pengalaman pribadi saya – yang dirasakan atau
dialami selama menjalani pengobatan lupus dan berstatus odapus (orang dengan
lupus).

Betapa terbatasnya sumber daya manusia (SDM) di Lampung
untuk penanganan lupus, fasilitas kesehatannya, dan sebagainya. Sehingga, saya
mau tak mau harus berobat ke luar Lampung. Melakukan pengobatan lupus yang bagi
saya tak sebatas melawan si penyakit. Lebih dari itu, memperpanjang nafas
kehidupan saya.

“Setelah mengumpulkan tulisan, saya pun diliputi
kebimbangan. Tapi kemudian ada teman saya yang jurnalis cum sastrawan cum
budayawan Lampung Udo Z Karzi yang bersedia mengedit dan memberi pengantar,
termasuk urun judul untuk buku saya ini dan akhirnya jadilah buku ini: Lampungisme: Sosiokultur, Alam dan
Infrastuktur Bumi Ruwa Jurai.”

Inilah persembahan cinta seorang Karina Lin untuk Lampung.  []

Sumber:

Kiprah, Fajar Sumatera,
Senin, 15 Januari 2017


Terimakasih telah membaca di Aopok.com semoga bermanfaat, mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top