Birokrasi

Zainal Abidin Pagar Alam (1916-1989): Sosok Hangat dan Bersahaja

PRIA yang namanya diabadikan di sepotong jalan utama di Bandar Lampung dikenal sebagai tokoh Lampung dan gubernur kedua provinsi ini (1966–1972). Namun, sebelum itu, Zainal Abidin Pagar Alam, kelahiran Tanjungkarang, Bandar Lampung, 29 Februari 1916, telah memegang berbagai jabatan penting.

Dialah bupati Lampung Utara (1950), bupati Lampung Selatan (1954), bupati Belitung (1955–1957), wali kota Bandar Lampung, residen Lampung, lalu gubernur Lampung. Dengan sederetan jabatan di atas serta sejumlah jabatan lain, sungguh, tidak ada yang meragukan modalnya memimpin.

Di mata anak-anaknya, Zainal adalah sosok yang hangat. Dia membangun kehangatan dan keakraban dalam rumah tangganya. Sebuah pilihan pendekatan yang kelak berpengaruh besra dalam kehidupan sosial anak-anaknya.

Bagi Zainal, keluarga adalah segala-galanya. Keluarga adalah harta yang paling berharga. Itu sebabnya, di sela-sela kesibukan yang sangat padat, perhatian terhadap keluarga tak diabaikan.

“Jika hari libur ayah membawa kami berjalan-jalan. Kami liburan ke Bandung, Surabaya, dan sebagainya. Sungguh membahagiakan,” ujar Syafariah Widiyanti, putri tertua Zainal yang akrab dipanggil Atu Ayi.

Selain rekreasi, hari libur dimanfaatkan untuk membina mentalitas anak-anaknya. Meski anak pejabat (baik ketika menjadi bupati maupun gubernur), pada hari libur anak-anaknya diberi tugas membereskan rumah. Tidak ada yang disitimewakan, semuanya kebagian tugas. “Dan kami mana ada yang berani membantah. Habis ayah jangan marah,” ujar Atu Ayi.

Kelembutan dan kesabaran Zainal meruntuhkan kebandelan anak-anaknya. Semua patuh pada perintah sang ayah karena meyakini ayahnya pasti memiliki pertimbangan matang dalam membuat keputusan untuk anak-anaknya.

Sementara itu, sang ibu, sebagaimana umumnya ibu-ibu, agak cerewet. Sang istri, Dewi Kartini, “marah”, Zainal memilih diam. “Nah, kalau ibu sudah kesel¯ banget, biasanya ibu gak mau masak. Nah, kalo udah gitu, Abang langsung pergi ke pasar, dan kita anak-anaknya rame-rame masak,” kata Ayi dengan tawa lebar. Ngambeknya ibu pada ayah, terkadang justru menjadi ajang bagi anak-anaknya untuk kompak karena sadar ketika orang tua tidak bekerja, anak-anaklah yang harus menyelesaikan pekerjaan.

Zainal Abidin senantiasa menggunakan pendekatan edukatif, lembut, tapi penuh kedisiplinan. Resep serupa yang juga diterapkannya dalam menjalani tugas-tugas negara.

Soal disiplin, apalagi terkait pendidikan, Zainal tidak main tawar menawar. Anak-anak harus belajar. “Kalau ada rapor merah, kami dihukum tidak boleh keluar dan harus belajar,” kata dia. Kalau anak-anak berantem, kedua-duanya dihukum tidak boleh keluar kamar. Karena sudah satu kamar, mau tidak mau anak-anaknya akhirnya akur.

Pendidikan bagi Zainal sangat penting dan menjadi warisan paling berharga untuk anak-anaknya. Itu sebabnya ke mana pun anaknya mau bersekolah Zainal tidak menghalangi mereka untuk pergi. Dalam menjalani dunia pendidikanpun, kata anak-anaknya, Zainal tidak ikut campur dan hanya memberi pandangan layaknya orang tua bijak tanpa harus memaksakan kehendak.

Tidak hanya membiarkan mereka menentukan pilihan pendidikan, juga “memaksa” anak-anaknya menjalani proses pendidikan, sejak awal, secara mandiri. Jika anak-anak lain didampingi orang tua, bahkan orang tuanya yang mendaftarkan anaknya ke sekolah, anak-anak Zainal harus mendaftar sendiri.

Demikian pula mencari tempat indekos (karena mereka kuliah jauh dari rumah orang tuanya). Setelah itu, baru zainal dan istrinya menengok mereka ke tempat tinggal sang anak.

Satu hal lagi yang sangat dicatat Atu Ayi adalah didikan ayahnya agar tidak sombong, tidak memilih teman, dan mesti berbuat baik kepada siapa pun.

“Buat apa sih sombong itu? Apa yang mau kalian sombongkan? Yang jadi gubernur itu ayah, bukan kalian. Jadi, jangan pernah sombong karena hanya ayah kalian seorang gubernur,” cerita Sjachroedin, salah satu anak Zainal yang kemudian mengikuti jejaknya menjadi gubernur Lampung.

Sebagai realisasi ketidaksombongan itu, meski rumah mereka dijaga petugas keamanan, pintu terbuka bagi semua anak-anak untuk bermain. Jadi, saat itu teman-teman anak-anak Zainal sudha biasa main ke kediaman gubernur. Layaknya anak-anak, bermain adalah dunianya, tidak peduli anak gubernur atau bukan atau di rumah gubernur atau bukan rumah gubernur.

Maka, anak-anak Zainal sering merasa bingung dan geleng-geleng kepala jika melihat orang-orang yang sombong, apalagi menyombongkan harta dan kedudukan orang tuanya.

Tidak hanya mendidik anaknya agar memiliki kelembutan hati, Zainal juga memberi contoh dan mengajari anak-anaknya agar tidak melupakan teman lama. Suatu hari, saat bersama keluarga ke luar kota, di pinggir jalan, Zainal bertemu Buyung, teman lamanya yang menjadi mandor bangunan. Zainal langsung memanggil dan menghampiri. “Eh, Pak Buyung malah lari karena yang memanggilnya Gubernur,” kata Ayi.

Tidak hanya menjabat tangan, Zainal mengajak Buyung bercengkerama dan ngobrol akrab. Sebuah pemandangan yang cukup berkesan bagi anak-anaknya, dan menjadi teladan mereka dalam kehidupan sosial kelak. Bukan hanya dengan teman lama, pembantu pun harus diperlakukan dengan baik. Zainal akan sangat marah besar jika ada anak-anaknya yang memarahi atau bersikap kasar pada pembantu.

Kenangan lain yang membekas dalam rekaman pikiran dan hati anak-anak Zainal adalah kecintaannya pada ibunya. Setiap pagi, sebelum ke kantornya, Zainal pasti mampir ke rumah ibunya. “Kan rumah kami di Jalan Raden Intan, rumah nenek di Jalan Sudirman. Jadi, kalau ke kantor ayah pasti mampir dahulu ke rumah beliau,” kata Ayi.

Pola-pola yang digunakan Zainal dalam mendidik anaknya memang berpengaruh besar pada anak-anaknya. Semua anak Zainal dikenal ramah, hangat, ceplas-ceplos, tanpa basa-basi, dan gampang menolong. Sjachroedin (Gubernur Lampung) atau Sjachrazad (mantan Sekkot Bandar Lampung dan Kadispenda Provinsi Lampung) misalnya, tidak segan-segan lebih dahulu menyapa siapa saja yang dikenalnya. Dia tidak peduli ada jabatan melekat di tubuhnya. Bahasa tubuh, baik berupa tepukan bahu, maupun sapaan hangat membuat orang tidak berjarak dengan mereka. Cara-cara yang membuat orang-orang merasa dimanusiakan.
Bagi keluarga besar Zainal, hubungan sosial sangat penting. Hubungan sosial antarsesama yang sehat adalah pintu-pintu menuju kesuksesan. Anak-anak yang lahir dari pendidikan internal keluarga yang hangat, juga akan mengalirkannya kehangatan persahabatan dalam lingkungan sosial. Sungguh sangat banyak yang dapat dijadikan bekal anak-anak Zainal untuk kehidupan mereka selanjutnya.

Dalam catatan pers, anak-anak Zainal cukup berhasil dalam karier. Sjachroedin Z.P., misalnya, tidak hanya sukses dalam karier kepolisian, hingga menjadi deputi operasi Polri, tapi juga menjadi gubernur Lampung 2005–2009, sedangkan Sjachrazad Z.P. menjadi kepala Dinas Pendapatan Daerah Lampung. Anak-anak Zainal yang lain seperti Indra, Syafariah, dan cucunya Rycko Menoza sukses menjadi pengusaha. n

BIODATA

Nama: Zainal Abidin Pagar Alam
Lahir: Tanjungkarang, Lampung, 29 Februari 1916
Meninggal di Tanjungkarang, Lampung, 6 September 1989
Istri: Dewi Kartini
Anak-Anak:
1. Thamrin Z.P.
2. Sutomo Z.P.
3. Syafariah Widiyanti
4. Sjachroedin Z.P.
5. Sjachrazad Z.P.
6. Iskandar Z.P.
7. Indrawan Z.P.
8. Khaidir Anwar Z.P.
9. Kurniawati

Karier:
– Gubernur kedua Provinsi Lampung (1966–1972)
– Bupati Lampung Utara (1950)
– Bupati Lampung Selatan (1954)
– Bupati Belitung (1955–1957)
– Wali Kota Bandar Lampung
– Residen Lampung

Sumber:
Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post. Hlm. 30-33.


Terimakasih telah membaca di Aopok.com semoga bermanfaat, mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top