Chusnunia Chalim

Chusnunia dan Era Pemimpin Muda di Lampung

Oleh Oki Hajiansyah Wahab

Chusnunia Chalim

Saatnya Pemimpin Muda, Bersama Chusnunia, Saatnya Pemimpin Muda Mari Kerja Bersama.

PETIKAN lagu kampanye Chusnunia itu menjadi penanda era baru dalam politik, khusunya di Kabupaten Lampung Timur. Sejarah tercipta dalam pilkada serentak 9 Desember 2015, khususnya di Provinsi Lampung. Bupati perempuan pertama di Lampung bahkan di Sumatera lahir dalam proses ini. Politisi muda Chusnunia Chalim (33) berhasil mengungguli kandidat lainnya dalam kontestasi Pilkada Lampung Timur.

Bila banyak orang menilai kemenangan pasangan Chusnunia Chalim dan Zaiful Bokhari adalah sebuah kejutan, saya justru bersikap sebaliknya. Sejak awal saya percaya bahwa Chusnunia akan memenangkan pertarungan di Lampung Timur. Politisi muda ini selain cerdas dalam mengatur strategi kampanye juga merupakan pekerja keras. Chusnunia dengan pengalamannya sebagai politisi nasional dan juga ‘scholar’ ini menggunakan pendekatan-pendekatan ilmiah yang terukur dalam setiap fase kerjanya.

Chusnunia bekerja dalam senyap dan minim publikasi. Ia lebih memilih turun ke hampir semua desa dan bertemu para pemilihnya untuk menjelaskan tujuannya maju dalam Pilkada Lampung Timur. Chusnunia menjangkau hampir semua desa di Lampung Timur, menyapa dan memberikan pendidikan politik kepada para pemilihnya siang dan malam. Wajar, jika secara perlahan elektabilitasnya terus meningkat dari waktu ke waktu.

Chusnunia juga secara cerdik mampu membidik segmen pemilih yang tepat dan mengkonsolidasikannya sebagai modal pemenangannya. Dukungan penuh Warga Nahdlatul Ulama (NU) di Lampung Timur menjadi modal berharga bagi Chusnunia. Di satu sisi Chusnunia menjadi representasi Warga NU di Lampung Timur dalam kontestasi pilkada itu. Di sisi lain, Chusnunia juga mampu membangun semangat dan sentimen warga NU di Lampung Timur untuk sama-sama berjuang.

Chusnunia juga mampu menarik perhatian  pemilih perempuan. Hal ini terkonfirmasi dari data yang menyebutkan bahwa pemilih perempuan di Lampung Timur lebih banyak datang ke TPS. Data KPU menyebutkan 253.490 dari 505.682 orang pemilih di Lampung Timur yang menggunakan hak pilihnya adalah perempuan.

Di tengah persaingan yang ketat, Chusnunia berusaha untuk tidak membangun permusuhan dengan para kompetitornya. Ia seakan menyadari sepenuhnya bahwa sebelumnya dua pasangan lainnya akan bersaing ketat, dan ia memilih menempatkan diri sebagai “kuda hitam”. Pemilihan posisi ini membuatnya nyaman dalam bekerja dan perlahan mengambil hati para pemilih di Lampung Timur.

Angin kemenangan mulai tampak ketika arus bawah pendukung pasangan Erwin Arifin-Prio Budi Utomo yang gagal maju dalam pilkada di Lampung Timur itu berbelok mendukung Chusnunia. Tak hanya itu, calon perseorangan yang juga gagal maju juga memberikan dukungan kepada politisi muda ini. Di sini lah titik krusial pergerakan suara dukungan terhadap Chusnunia terus mengalami peningkatan. Dengan kata lain kemenangan yang diraih Chusnunia adalah sebuah kombinasi antara kerja keras dan peruntungan.

             Peran Anak Muda
Satu hal yang menarik adalah sejak awal Chusnunia mengoptimalkan sumber daya anak muda dalam timnya. Chusnunia tidak hanya mengandalkan dukungan warga NU dan para kiai, ia merekrut banyak anak muda dalam timnya. Militansi timnya terus dibangun secara bertahap agar bekerja tanpa lelah. Kecerdasan mengatur ritme kerja membuat timnya mampu bergerak seperti mesin diesel.

Demikian juga dengan cara berkampanye berbeda dilakukan Chusnunia. Ia memilih menggelar pelatihan-pelatihan ‘life skill’ kepada masyarakat dibandingkan membagi-bagikan sembako. Para relawannya menggelar berbagai pelatihan mulai dari membuat kue, pengelolaan sampah, dan budidaya pertanian yang digelar sesuai dengan minat warga. Chusnunia seakan hendak memberikan pesan bahwa pilkada bukan sekadar mengajak orang untuk memilih calon tertentu melainkan memberdayakan warga secara politik dan ekonomi.

Tak bisa dipungkiri, ini adalah sebuah terobosan dimana strategi pemberdayaan dan pendekatan politik dilakukan secara simultan. Model ini berusaha meyakinkan orang dalam forum-forum kecil, lalu biarkan forum-forum kecil ini saling mempengaruhi satu sama lain. Hal ini lebih murah dan edukatif dibandingkan dengan memberdayakan relawan sebagai tim penyalur sembako, uang atau berbagai hal lainnya. Media sosial digunakan untuk menjelaskan apa yang tengah dikerjakan oleh para timnya terhadap para pemilih.

Meski pengguna media sosial di Lampung Timur tak sebanyak di Kota Bandarlampung dan Metro, tapi
Chusnunia seakan meyakini bahwa kampanye ini akan mempengaruhi pemilih pemula di Lampung Timur yang tengah tumbuh di era teknologi informasi.

Meski harus diverifikasi kebenarannya, Chusnunia juga konon menolak melakukan politik uang. Benar bahwa ia membagikan souvenir seperti CD lagu, sajadah hingga tempat makan. Meski demikian, ia menolak membagikan uang bagi para pemilih. Sebagai seorang ‘scholar’, ia tampak mampu membedakan antara ‘money politics’ dan ‘cost politics’ dalam kampanyenya.

Di masa kampanye, ia pernah menuliskan sebuah komentar di media sosial: “Bagi politisi yang menolak membagikan uang, sembako atau sepupunya sembako, maka siap-siap disebut politisi pelit. Berat menjadi politisi di era politik uang sudah mengakar. Saya sendiri memilih mengirimkan para relawan untuk berbagi ilmu kepada masyarakat dibanding membagi sembako.Saya harus meyakinkan bahwa pilkada ini adalah ajang pendidikan pemilih, pilkada adalah momentum dimana masyarakat menentukan pemimpinnya untuk masa depan mereka tapi semakin banyak bertemu wajah-wajah di kampung, bersentuhan, berbicara, mengajak berpikir, mendengar keluhan-keluhan mereka itu, jadi energi yang mengalirkan kekuatan dan semangat untuk berjalan yakin niat yang baik harus dilakukan dengan cara yang baik untuk mendapatkan hasil yang baik.”

Sebagai calon pemimpin yang notabene masih muda, ke depan Chusnunia dihadapkan pada banyak persoalan besar di Lampung Timur. Kemunculan figur muda juga akibat kejenuhan masyarakat dalam kepemimpinan yang stagnan, tidak menawarkan warna baru dalam kebijakan publik di daerahnya. Ada kegairahan dari masyarakat untuk bergerak lebih dinamis sesuai tuntutan zaman. Ada perubahan, kemajuan, dan pergerakan dalam kognisi masyarakat ketika merespons berbagai isu yang berkembang di masyarakatnya.

Hal yang menjadi pertanyaan adalah apakah strategi kolaborasi akan menjadi andalanya dalam membangun Lampung Timur ke depan?
Patut ditunggu. []

Oki Hajiansyah Wahab, akademisi Universitas Muhammadiyah Metro (UMM), dan pegiat sosial kemasyarakatan di Lampung.

Sumber:Antaralampung.com, Selasa, 15 Desember 2015


Terimakasih telah membaca di Aopok.com semoga bermanfaat, mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top