Profil Pengusaha Petani Sarianto
Pagi begitu muram ketika tidak ada matahari di langit. Di sebuah tempat bernama Desa Babadan, Kec. Ngancar, Kabupaten Kediri. Suasana tampak bahagia di sisi lain, tampak seorang pria bersama wanita tengah berbincang, senyum tidak terlepas dari wajah keduanya terutama pria berkumis itu.
Pabrik kompos
Halaman belakang rumah dijadikan tempat penyulihan bahan baku. Agar bersih terpisah dari kotoran dan bahan plastik. Ada 2 mesin penyaringan dan 2 pengayakan. Sedangkan halaman samping dia gunakan sebagai lokasi composting dan packing. Juga menjadi tempat penumpukan kompos sebalum dijual.
Tenang karena Sarianto juga punya ruang tamu luas. Di sinis ada meja besar dan kursi panjang untuk ruang diskusi. Ada dua papan informasi berisi berbagai piagam penghargaan dan seritifikat kegiatan. Adapula brosur- brosur kegiatan yang sudah dan akan diikuti.
“Motif saya adalah untuk ekonomi keluarga, di samping untuk membantu petani,” tuturnya.
Bagaimana Surianto bisa menjual pupuk murah kepada petani. Kenapa dirinya berani mengambil keputusan beresiko. Menjadi pengusaha pupuk kompos bisa- bisa gagal. Uang puluhan juta hasil gadai motor mungkin saja lenyap seketika.
Dia tidak menjelaskan dari mana asal keberaniannya. Setiap hari, ada lima orang pekerja yang rutin mengolah 20- 35 ton per- bulan. Tidak cuma menjual ke petani, beberapa perusahaan perkebunan yang menjadi pelanggan.
Hasilnya ada kontrak 200 ton pupuk kompos dari sebuah perusahaan menjelang lebaran 2013 silam. Dijual Rp.500/kg kepada petani dan 550/kg kepada perusahaan. Setiap pupuk kompos dijual dengan berat 40 kg per- zak. Jika orang lain merubah limbah menjadi gas, dia mengaku fokus menjual pupuk nya.
Sedangkan hasil gas nantinya akan digunakan untuk dapur. Dulu, Surianto pernah mencoba membuat biogas dari plastik, uang 800 ribu lenyak karena gagal. Selain baunya malah lebih bau dibanding jika memakai kotoran. Dia mengatakan bahwa memakai itu kompor tidak menghasilkan api matang.
Perhitungan bisnis
Jika orang bilang membeli reaktor rugi. Dia sudah hitung baik- baik. Jika dihitung reaktor sama saja dia membeli gas 3 kilo selama 3 tahun. Bedanya kan, setelah 3 tahun, otomatis biaya memasak di rumah sudah gratis. Disisi lain dia menghasilkan pupuk buat dijual ke petani atau perusahaan.
Apalagi semenjak elpiji naik, hitungan Surianto selaku pengusaha tepat, apalagi mengingat subsidi pupuk urea yang dicabut. Berkat subsidi pupuk urea dicabut maka penjualan pupuk kompos miliknya bisa naik. Pendapat inin diamini istrinya, Purwati, wanita 35 tahun yang sibuk mengurusi urusan dapur.
Dia mengatakan bahwa biogas dihasilkan sangat membantu. “Punya biogas sama dengan punya pabrik pupuk,” jelasnya. Itu sangat meringankan sang suami yang petani, dan dapurnya semakin gampang ngepul. Otomatis penghasilan bulanan bisa dialihkan ke tempat lain selain ke biaya elpiji.
Ada tiga bpkb Surianto gadaikan, ketiganya bisa dilunasi lewat bisnis pabrik kompos, juga termasuk hutang ke UPK, PNPM. Tidak cuma jualan kompos, dia juga menjual tempat menanam polibag yang sudah disuburkan.
Ditambah lagi, Purwanti mendapat 1 juta per- dua hari dari berjualan cabe yang subur. Kemudian ada tanaman oyong, kacang panjang, kubis, terong, dan bayam. Sudah tidak lagi bingung untuk belanja dapur dan uang jajan anak- anak.
Idenya menanam tanaman lewat polibag berhasil. Dengan memanfaatkan pupuk sistem bio- slurry, Purwati tinggal membeli bibit, menanam, dan menghasilkan hasil. Pikirannya dia memanfaatkan waktu luang. Lebih baik dibanding berpikir untuk ngobrol dengan tetangga yang ujungnya bergosip.
“Tanaman saya hasilnya bagus dan menghasilkan uang,” tuturnya
Pasangan suami istri pengusaha yang mempunyai dua putri ini, berhasil memberikan inspirasi bagi keluarganye sendiri. Terhitung ada 4 orang dari keluarga mereka mengikuti jejak keduanya. Surianto tidak berhenti disitu, rancangan berikutnya adalah membuat pertanian dan peternakan terpadu.
Bisnis pembibitan tanaman lebih menguntungkan dibanding bisnis hasil pertanian. Perputaran uang memang lebih besar disini. Berlanjut, Surianto sukses membangun kampung organik, dengan sistem kompos perkembangan pertanian di lereng gunung Kelud itu berputar.
Sosoknya sekarang dikenal sebagai guru petani. Semua orang belajar dari membuat pupuk, bertanam, dan mengelola tanaman dari hama. Surianto menganjurkan untuk tidak menggunakan produk kimia. Ketekunan Surianto membuahkan hasil setelah dua tahun meyakinkan berhenti menggunakan kimia.
Contoh produk sukses desa mereka adalah kacang tanah. Meski disebut sebagai salah satu sumber penyakit kolesterol, faktanya Surianto juga ikut mengkonsumsi. Menurutnya semua terjadi karena penggunaan produk kimia. Sudah 10 tahun dia meninggalkan pupuk kimia dan memulai kompos.
Dia sendiri diyakinkan dengan ajakan ahli ITB. Ia juga membuktikan hal tersebut sendiri. Meskipun dia waktu itu sukses panen besar karena kimia. Selanjutnya tanah buat menanam rusak, bukan yang rusak tanamannya tetapi tempat menanamnya rusak dan hasilnya produksinya menurun tajam.
Juga kalau dihitung penggunaan kimia itu mahal. Dia menghabiskan Rp.1,2 juta, sedangkan memakai pupuk organik atau kompos mengeluarkan Rp.600 ribu. Butuh waktu praktek hingga produknya bisa terlihat jelas hasilnya. Para petani lain akhirnya mengakui bahwa sayuran miliknya lebih bagus.
![](https://biografi.aopok.com/wp-content/uploads/2024/09/Aokpok_Logo.png)
Terimakasih telah membaca di Aopok.com semoga bermanfaat, mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.